Jumat pagi, sekitar pukul 09.00 seorang adik kelasku, yang sewaktu SMP menjadi satu rekan denganku di tim bola voli sekolah, mudik dan singgah ke kios kaus oblongku bermerek “Budak Bangka”. Semula dia hanya hendak mencari kaus untuk oleh-oleh.
Selama ini, katanya, oleh-oleh dari Bangka yang selalu dibawanya hanya berupa makanan ringan, misalnya kemplang bakar, keretek, sambelingkung, dan lain-lain. Semua oleh-oleh semacam itu selalu mudah ludes, dan tidak berkesan sepanjang waktu.
Dia sempat terkejut ketika informasi soal salah tempat oleh-oleh adalah kiosku. Dia tidak menyangka bahwa aku pemiliknya. Di kiosku dia minta kutunjukkan disain-disain kaus oblong, dan motif-motif kreasiku, selain yang sudah tercetak pada kaus oblong dan baju-baju lainnya.
“Bantu aku mengelola usaha konveksi dan garmen di Jakarta, Bang,” pintanya dengan wajah sebinar surya pagi yang membedaki dinding luar kiosku.
Bertahun-tahun di Jakarta, dan memiliki anak buah dari latar asal berbeda-beda, cukup membuat kosakata Bangka-nya berubah. Atau, mungkin dia mengira aku pun sudah berubah dalam berbahasa gara-gara sekian tahun bersekolah di Yogyakarta.
“Ndok, anak buah ka ke mane?” Mau-tidak mau aku harus menggunakan bahasa lokal karena aku selalu menggunakan bahasa asal. Lho, anak buahmu ke mana, begitu artinya.
“Andalanku ninggel…”
“Oh, sori. Jangen ka terosken.” Aku paling tidak tahan kalau mendengar kata “meninggal dunia”. Jangan diteruskan soal sebab-musabab, dan bagaimana kejadiannya.
“Tu lah. Abang bantulah kami.”
“Berin waktu, ok?”
Ya, beri waktu aku berpikir karena aku juga mengelola usaha sendiri. Usahaku ini adalah usaha milik keluarga besar. Modal utamanya juga milik keluarga besar.