Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rindu Pun Berayun-ayun di Perayun Biru

29 April 2016   22:36 Diperbarui: 30 April 2016   11:36 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

koleksi pribadi

Bulan buram terhadang rindang dedaun rambutan di atas perayun biru. Aku sendirian berayun-ayun perlahan, dan perayun berayun-ayun seperti bandul jam dinding tempo dulu. Waktu pun mengayun-ayunkan pikiranku padamu.

Oh iya, kamu masih ingat perayun besi bercat biru, ‘kan? Aku yakin, kamu pasti mengingatnya. Aku yakin, kamu pasti memiliki suatu kenangan di situ. Seperti juga aku, yang kini sedang sendiri, berayun-ayun dengan waktu seperti bandul jam dinding tempo dulu, dan berayun-ayun dengan ayumu, Lia.

Di perayun biru ini sosokmu begitu asyik memainkan benakku, yang sedang sendiri menikmati udara dan suasana sunyi. Maka kutuliskan sebuah pesan singkat, “Aku sedang menunggumu.”

Lalu kukirimkan ke nomor ponselmu. Ponsel bergetar, pesan tersampaikan dalam pelupuk mataku yang langsung tergambar wajahmu dan seluruh dirimu yang sedang berayun-ayun di perayun biru.

“Tunggu sebentar setelah angin ketiga mengusap hidungmu, Oji.” Kuingin begitu balasanmu.

Ah, biarlah itu inginku. Akan selalu kutunggu balasanmu sambil menatap rindang dedaun rambutan di atas perayun biru ini. Detik melaju, menit berlalu, jam pun menunggu. Belum juga datang balasan pesan singkat darimu. Mulai terasa kesendirianku ini, Lia.

*

Malam pertama menyambut musim minggu tenang sebelum ujian akhir sekolah. Aku tengah mengayunkan langkah menuju tempat di mana saja hati ini beringin.

“Di mana dirimu sedang berada, Lia?”

Aku menoleh ke arah perayun biru yang sayup-sayup memperdengarkan derit kumparannya. Perayun biru bergoyang perlahan. Kamu berada di situ seolah hendak menggoyang waktu agar lekas berlalu karena sepi seakan sedang mengejekmu.

Kebetulan aku melihatmu di situ. Ya, kebetulan, pikirku, meski ada gugup yang menyusup di antara debar dadaku. Gugup tidak bersekutu dengan langkahku, Lia. Berbeloklah aku, menemuimu. Kamu menoleh ke arahku dengan senyum yang entah apa maknanya.

“Jalan kaki saja; di mana kuda besimu berada, Ji?”   

“Di kandangnya.”

“Sedang rewelkah? Makanya, ajak-ajaklah dia bersamaku jalan-jalan ke pantai Matras, ke air panas Pemali, dan lain-lain, pasti dia tidak akan rewel lagi.”

“Tidak rewel, Lia. Cuma mau berganti suasana.”

“Gantilah kereta kencana, seperti para pangeran.”

Pangeran ? Ah, pangeran dari kampung, apa? Geli hatiku, Lia. Tapi malam ini kenapa kamu sendirian di situ? Ke mana Andi, atau Budi, atau Charli, ataupun  Deni?

Aku urung menanyakan para ‘pangeran’-mu itu. Jangan sampai nama-nama itu merusak suasana yang sedang mengajakku bersahabat malam ini, dan berdua denganmu di perayun biru.

*

Langit bertabur bintang, bulan tampak anggun mengangkang. Malam kesekian aku duduk di sampingmu di perayun biru. Aku hanya bisa mendengarkan kisah-kisahmu, apa saja. Aku suka, Lia. Apalagi dengan ayunan lembut perayun biru, makin hanyutlah aku dalam khusyuk kisahmu.

Ketika kita sedang menikmati goyangan perayun biru, di sudut lancip langit depan kita tampak sebuah titik putih jatuh.

“Anton cerai!” Spontan saja sebutanku. Tradisi orang kampung kita, Lia, harus spontan mengucap itu.

“Itu bintang jatuh, Oji. Katakan apa keinginanmu. Lekaslah!”

“Aku ingin Lia jadi istriku.” Aku menoleh ke kamu.

“Gila kamu ini!” Kamu tetap memandang langit.

Mungkin benar ucapanmu itu, Lia. Aku memang gila, tepatnya tergila-gila padamu. Kalau ibuku tahu, bisa kacau kelak. Pasalnya, ibuku masih berharap aku melanjutkan belajar hingga tamat kelak.

“Kini apa keinginanmu, Lia, cepatlah!” Pandanganku beralih ke langit.

“Jadi puteri istana para bangsawan.”

Aku kembali menoleh ke kamu. Dalam benakku, sungguh jauh anganmu seakan sulit dijangkau oleh kuda terbangku, meski kita sama-sama orang kampung. Seperti juga tadi, ‘anton cerai’, yang dalam tradisi kampung kita harus spontan diucapkan karena benda di langit yang jatuh pertanda anton sedang menuju.

Kamu ingat, ‘kan, apa itu anton? Kuberi tahu lagi, anton itu sejenis makhluk halus berupa kepala terbang, Lia. Hantu berkepala manusia tanpa badan itu muncul untuk menghisap darah. Harus disebutkan ‘anton cerai’ supaya anton terberai-berai di langit dan gagal sampai ke tempat tujuan jahatnya.

*

Di perayun biru kamu sedang khusyuk membaca novel karya seseorang dari negeri para penenggak tuak. Sinar mentari sore terhalang oleh kerapatan pohon di belakangmu.

Aku melangkah, menuju keberadaanmu di situ. Sedikit agak cemas karena wajah Andi, Budi, Charli, dan Deni bergantian melintas di kepala seakan tengah melancarkan ancaman . Belum lagi apa kelak kata orang tua-orang tua kampung kita, yang kebetulan melihat kamu dan aku berayun-ayun berdua. Bisa-bisa nanti sampai ke telinga ibuku…

Ah, biarlah. Toh ini hari terakhir. Toh besok dan entah kapan lagi aku bisa duduk berdua denganmu di perayun biru itu.

“Eh, Oji. Tumben sore sudah kemari?”

“Kebetulan saja.”

“Sini, duduk.”

“Iya, terima kasih.”

Kamu bergeser ke satu bagian paling tepi. Dan aku pun duduk di bagian tepi lainnya. Biarlah udara menyekati diriku dan dirimu seperti kemarin-kemarin. Mungkin di tengah antara aku dan kamu terisi oleh hantu mencadin yang sok rajin, datang kesorean.

“Besok aku hendak merantau ke luar pulau, Lia.”

“Mendadak sekali!” Kamu menghadap aku dengan wajah beraneka makna.

Pada sore itu pula aku bisa menggenggam jemarimu. Perayun biru bisa menjadi saksi apabila suatu waktu kelak aku atau kamu ingkari atau pungkiri.

*

Dua tahun kemudian aku mudik, Lia. Pas melewati depan rumah orangtuamu, aku mencari perayun biru. Dan tidak menunggu lama di rumah, segera aku berkunjung ke rumahmu.

“Eh, Oji, sudah mudik,” sambut ibumu dengan wajah berseri-seri. Ya, sepanjang tahun mengenal ibumu, selalu kutemui keceriaan ketika bertatapan denganku.

“Rindu kampung halaman, Bik.”

“Ah, rindu kampung halaman atau rindu…”

Aku tersipu, Lia. Ibumu pasti tahu karena pernah muda.

“Tapi Lia sedang di pulau seberang. Lanjut belajar di sana.”

Aku harus menahan kecewa. Bukan soal tidak bertemu kamu tetapi mengapa kamu tidak mengabari aku. Aku bingung, harus bagaimana menanggapi kabar dari ibumu, Lia. Anehnya, mengapa ibuku tidak pernah memberi tahu mengenai itu.

Pandanganku beralih ke perayun biru di samping rumah orangtuamu. Ingatan masih sangat kuat melekat, aku dan kamu sedang berayun-ayun di situ. Berayun-ayun pula kerinduanku.

*

Perayun biru mulai berkarat pada bidang bekas duduk orang di kedua tepinya. Matahari yang garang tidak mampu melampaui hadangan rindang dedaun rambutan.

Aku duduk di situ selagi mudik hari pertama. Berayun-ayunlah aku sendiri. Terbayanglah kamu ada di tepi satunya, seperti waktu-waktu lalu. Aku memang sengaja kembali ke situ setelah mendapat kabar bahwa kamu akan menikah setelah lebaran nanti.

Di perayun biru ini aku ingin bisa bersamamu, meski sekian detik saja, menjelang kamu resmi dibawa seorang pangeran ke istananya. Bukan Andi, Budi, Charli, ataupun Deni. Tapi Edi. Ah, nama terakhir ini, selalu mengulik perasaan dan pikiranku akhir-akhir ini.

Edi. Ah, laki-laki itu sangat mujur. Mujur karena dekat denganmu di pulau seberang. Ketika aku mengunjungimu di seberang, kedekatan itu sangat kental sehingga aku mental. Mujur lagi, dia berhasil memersuntingmu, Lia. Ah, cintaku jadi berkarat seperti di beberapa bagian perayun biru ini, Lia.

Aku tidak mengerti, kenapa kamu tidak memberi undangan pernikahanmu nanti. Malah aku mendapat kabar dari orang lain, yang sedang menganggung lipatan tenda biru untuk acara besarmu. Itu yang sebenarnya ingin kutanyakan langsung padamu di perayun biru ini.

Sering, saban menjelang lelap, langit-langit kamar rantauku bertabur kata kutukan, semoga pernikahanmu batal karena si Edi itu ketahuan buaya darat, atau bandit kelas berat, dan seterusnya. Atau juga, semoga hanya bertahan dua hari lantas si Edi itu ditangkap polisi gara-gara terlibat jaringan narkoba internasional.

Pokoknya banyaklah kutuk yang kuangkat dari dasar kolam hatiku dan kutabur di langit-langit kamarku, Lia. Kutukan-kutukan itu berayun-ayun di sana dengan wajah ayumu, wajah sialan Edi, waktu-waktu bersama di perayun biru, hingga lelap menutup pintu-jendela pikiranku. 

*

Sejuknya pagi di kampung selalu membuatku tidak ingin merantau lagi. Kuanggap selesailah semua perjalanan di luar kampung. Saatnya membangun kampung kita dengan gelar sarjanaku.

Itulah panggilan jiwaku. Ibuku senang. Juga ibumu. Artinya, sejauh-jauhnya aku menuntut ilmu, pulang dan membangun kampung halaman adalah suatu upaya yang paling membanggakan keluargaku, keluargamu, dan orang-orang kampung kita. Kebetulan aku langsung bekerja di sebuah konsultan sambil menunggu kapan adanya penerimaan pegawai negeri.

Aku tahu kamu sudah tinggal-menetap di pulau seberang bersama Edi dan keluarga barumu. Aku tahu kamu sedang sibuk bersama mereka. Namun, aku memang harus pulang demi kampung halaman kita.

Aku berjalan menyusuri kampung, memunguti kenangan yang mustahil bisa terulang. Itu pun yang sering membuatku menggerutu, kenapa kenangan sangat keras kepala. Ya, kenangan benar-benar sangat keras kepala pada saat aku melihat perayun biru di samping rumah orangtuamu.

Di perayun biru kulihat ibumu sedang menemani cucunya alias keponakanmu alias anak kedua-nya kakakmu yang belum masuk pendidikan anak usia dini. Keduanya berayun-ayun di situ.

Sekilas kenangan itu mau berkompromi dengan waktu. Aku pun menuju mereka berdua. Ibumu tersenyum sewaktu melihat kedatanganku.

“Lia tidak bisa mudik, Ji. Sibuk mengurusi anaknya. Apalagi hidup di kota besar.”

“Sekarang sudah berapa anaknya, Bik?”

“Empat, Ji.”

“Wah, bisa tambah nih.”

“Jangan. Jaman kini beda dengan jaman dulu. Jaman bibik dulu, bisa beranak tujuh, semua kebutuhan saban bulan terjamin pula oleh perusahaan timah. Apalagi hanya tinggal di kampung begini.”

“Beda jaman, beda repotnya, ya, Bik?”

“Ya itulah. Suaminya juga hanya pegawai biasa. Tapi kamu kapan?”

Aku tidak bisa menjawab dengan jujur, Lia, karena hatiku mendadak kembali berayun-ayun dengan bayangmu, dengan waktu-waktu yang aku sendiri tidak mampu mengaturnya.

*

Aku sendirian mengisi udara dan perayun biru yang sunyi. Bulan larut dalam dekap selimut langit. Sayang kamu tidak di sini bersamaku. Sayangnya  aku dan kamu tidak bisa saling mengisahkan hari-hari yang lengang serta rasa yang meradang.

Kita sempat bertemu sesaat pada waktu meninggalnya ibumu beberapa waktu lalu, menyusul ayahmu satu setengah tahun silam. Wajahmu sembab dan selalu basah. Aku tidak tega melihatmu begitu. Tapi, yang paling mengganggu pandanganku adalah suamimu yang selalu dekat dengan posisimu.

Sempat pula kuingat, apabila bertemu ibumu, beliau selalu memberi tahu bahwa kamu sering menanyakan aku; apa kabarku dan di mana kini aku berada.  

“Lia tidak percaya kalau kamu sudah kembali di kampung ini, Ji. Bibik sudah berkali-kali meyakinkan dia, Oji tidak akan pergi lagi. Seandainya kalian, ah, senang nian hati bibik, Ji. Kalian pasti memilih tinggal di sini, di kampung sendiri.”

Ah, berayun-ayunlah dirimu dalam ingatanku. Berayun-ayunlah waktu-waktu lalu. Rindu yang siap menerkamku dengan manyun. Ah, andai kita dulu benar-benar dalam satu ikatan, Lia.

*

Takdir, sudah pasti, itu yang tidak menjadikan aku dan kamu mewujudkan suatu ikatan jiwa. Perayun biru, paling tidak, bisa bersaksi tentang perjalanan tautan rasa yang tak terucapkan dari ranum bibirmu meski aku berusaha untuk merangkum sejengkal waktu pertemuan demi pertemuan.

“Kamu kurang berusaha, Oji,” katamu terakhir dalam perbincangan via ponsel sebelum kamu menikah. “Padahal kamu orangnya keras kepala.”

“Tentu saja keras kepala karena aku memang mencintaimu, Lia. Sebelum puber sampai tengah panas-panasnya. Bisa kamu bayangkan, ‘kan?”

“Itulah keras kepalamu sampai-sampai ibumu khawatir. Tapi kamu kurang berusaha.”

Aku tidak habis mengerti, kurang berusahaku yang bagaimana, sih. Kuingatkan lagi, usaha-usahaku untuk selalu dekat denganmu, dengan seluruh keluargamu. Keluargamu selalu kuanggap sudah seperti keluargaku, bahkan aku berusaha untuk tidak bermasalah dengan keluargamu karena aku sudah menjadikan semuanya adalah bagian dari hidupku, Lia.

Dan kusebut nama-nama pengincar cintamu. Mereka memang gigih, mendatangimu karena kamu-lah kembang kampung kita, bahkan ada yang sempat membuatku cemburu ketika kamu tunjukkan sepucuk surat dari seorang pesaing.

Sebuah persaingan yang cukup sengit nan seru ketika itu, Lia. Aku tidak pernah merasa mampu bersaing dengan mereka. Lalu aku melanjutkan belajar ke luar pulau untuk membekali diri sebelum terjun dalam persaingan tingkat lanjut melawan para pengincar cintamu. Ah, tetap saja semua akhirnya kalah oleh takdir masing-masing. Edi-lah pemenangnya.

“Asalkan kamu tahu, Oji, justru kamu dulu pemenangnya. Itulah tadi kubilang sampai-sampai ibumu khawatir. Ya, khawatir kalau kamu memilih menikah di usia muda belia.”

Aku terhentak. Aku tidak percaya itu, Lia.

“Aku sengaja menunjukkan surat dari cowok itu agar kamu tahu aku seperti apa di hadapanmu. Aku ingin melihat reaksimu, Oji.”

“Tapi kenapa kamu baru mengatakannya sekarang?”

“Ya, sekarang kamu tahu juga, dulu aku takut pada ibumu, Oji.”

“Takut? Mengerikan, ya, ibuku?” Seketika aku ternganga.

“Ibumu selalu menyindir aku apabila sedang ngobrol dengan ibuku. Biarkan Oji menamatkan belajarnya, begitu kata ibumu. Ibuku pun menyampaikan itu padaku hingga aku sempat bertengkar dengan ibuku.”

Oh! Memang, ada kekhawatiran seorang ibu ketika anaknya sedang berada pada masa puber membara, terlebih aku selalu berkunjung ke rumahmu sepulang sekolah dan kulanjutkan selepas magrib. Orang-orang kampung kita pun terbiasa dengan menikah muda.

“Mengapa baru kini juga kamu ungkapkan, Lia?”

“Dengar dulu, Oji sang keras kepala. Kamu akhirnya melanjutkan belajar ke luar pulau adalah upaya ibumu untuk memisahkan kita.”

“Bukan, Lia,” serobotku. “Justru ada target nilai jika aku ngotot hendak melanjutkan belajar ke luar pulau. Kamu tahu keseharianku yang bandel dan malas belajar. Saban malam berada di rumahmu. Kamu belajar, aku malah asyik dengan kakakmu. Target yang mustahil bisa kuraih, kecuali nasib...”

“Ya, ibumu juga pernah cerita pada ibuku. Ibumu kaget sendiri, bagaimana kamu mampu mencapai nilai sesuai dengan target itu. Ibuku bahkan keluarga kami pun kaget karena dulu aku yang rajin belajar tetapi nilaiku justru jauh di bawahmu. Tapi kamu juga bilang ke ibumu soal nasib itu.”

“Nah, justru, mungkin saja, target dipaksakan oleh ibuku supaya aku tidak bisa ke luar pulau, Lia.”

“Dilema ketika itu, ya? Tapi…”

“Ah, lagi-lagi nasib. Nasib dan… takdir.”   

Astaga, takdir! Satu-satunya kata yang seketika menamparku, Lia. Kalau nasib telah membawaku ke luar pulau, lantas takdir pun mengambil kesempatan untuk memisahkan aku dan kamu. Sejak saat itu takdir selalu bersengketa dengan kenangan.

*

Bulan buram terhadang rindang dedaun rambutan di atas perayun biru. Aku sendirian berayun-ayun perlahan, dan perayun berayun-ayun seperti bandul jam dinding tempo dulu. Keponakanmu itu pasti sudah suntuk di depan meja belajarnya.

Meja belajar… terbayang kamu dan adik-adikmu dulu juga suntuk selepas makan malam. Sementara aku berada di rumahmu, menikmati obrolan seputar bola voli dengan kakakmu, yang pernah melatih aku sehingga aku pun pernah menjadi pemain andalan di sekolah dan kampung kita dulu. Menjelang tengah malam aku pulang pada saat lampu belajarmu dan adik-adikmu sudah padam.

Aku terus berayun-ayun. Waktu pun mengayun-ayunkan pikiranku padamu dan berayun-ayun dengan ayumu, Lia. Kenangan itu memang sangat keras kepala apalagi pada saat aku berada di perayun biru ini.

Di perayun biru ini sosokmu begitu asyik mempermainkan benakku, yang sedang sendiri menikmati udara dan suasana sunyi. Maka kutuliskan sebuah pesan singkat, “Aku sedang menunggumu.”

Lalu kukirimkan ke nomor ponselmu. Ponsel bergetar, pesan tersampaikan dalam pelupuk mataku yang langsung tergambar seluruh ayumu yang sedang berayun-ayun di perayun biru.

Kutunggu balasanmu sambil menatap rindang dedaun rambutan di atas perayun biru ini. Detik melaju, menit berlalu, jam pun menunggu. Belum juga datang balasan pesan singkat darimu. Mulai terasa sekali kesendirianku ini, Lia. Betapa sunyi menyanyi merdu sekali.

*******

Sri Pemandang Atas, Ketika Itu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun