“Bukan, Lia,” serobotku. “Justru ada target nilai jika aku ngotot hendak melanjutkan belajar ke luar pulau. Kamu tahu keseharianku yang bandel dan malas belajar. Saban malam berada di rumahmu. Kamu belajar, aku malah asyik dengan kakakmu. Target yang mustahil bisa kuraih, kecuali nasib...”
“Ya, ibumu juga pernah cerita pada ibuku. Ibumu kaget sendiri, bagaimana kamu mampu mencapai nilai sesuai dengan target itu. Ibuku bahkan keluarga kami pun kaget karena dulu aku yang rajin belajar tetapi nilaiku justru jauh di bawahmu. Tapi kamu juga bilang ke ibumu soal nasib itu.”
“Nah, justru, mungkin saja, target dipaksakan oleh ibuku supaya aku tidak bisa ke luar pulau, Lia.”
“Dilema ketika itu, ya? Tapi…”
“Ah, lagi-lagi nasib. Nasib dan… takdir.”
Astaga, takdir! Satu-satunya kata yang seketika menamparku, Lia. Kalau nasib telah membawaku ke luar pulau, lantas takdir pun mengambil kesempatan untuk memisahkan aku dan kamu. Sejak saat itu takdir selalu bersengketa dengan kenangan.
*
Bulan buram terhadang rindang dedaun rambutan di atas perayun biru. Aku sendirian berayun-ayun perlahan, dan perayun berayun-ayun seperti bandul jam dinding tempo dulu. Keponakanmu itu pasti sudah suntuk di depan meja belajarnya.
Meja belajar… terbayang kamu dan adik-adikmu dulu juga suntuk selepas makan malam. Sementara aku berada di rumahmu, menikmati obrolan seputar bola voli dengan kakakmu, yang pernah melatih aku sehingga aku pun pernah menjadi pemain andalan di sekolah dan kampung kita dulu. Menjelang tengah malam aku pulang pada saat lampu belajarmu dan adik-adikmu sudah padam.
Aku terus berayun-ayun. Waktu pun mengayun-ayunkan pikiranku padamu dan berayun-ayun dengan ayumu, Lia. Kenangan itu memang sangat keras kepala apalagi pada saat aku berada di perayun biru ini.
Di perayun biru ini sosokmu begitu asyik mempermainkan benakku, yang sedang sendiri menikmati udara dan suasana sunyi. Maka kutuliskan sebuah pesan singkat, “Aku sedang menunggumu.”