Dua tahun kemudian aku mudik, Lia. Pas melewati depan rumah orangtuamu, aku mencari perayun biru. Dan tidak menunggu lama di rumah, segera aku berkunjung ke rumahmu.
“Eh, Oji, sudah mudik,” sambut ibumu dengan wajah berseri-seri. Ya, sepanjang tahun mengenal ibumu, selalu kutemui keceriaan ketika bertatapan denganku.
“Rindu kampung halaman, Bik.”
“Ah, rindu kampung halaman atau rindu…”
Aku tersipu, Lia. Ibumu pasti tahu karena pernah muda.
“Tapi Lia sedang di pulau seberang. Lanjut belajar di sana.”
Aku harus menahan kecewa. Bukan soal tidak bertemu kamu tetapi mengapa kamu tidak mengabari aku. Aku bingung, harus bagaimana menanggapi kabar dari ibumu, Lia. Anehnya, mengapa ibuku tidak pernah memberi tahu mengenai itu.
Pandanganku beralih ke perayun biru di samping rumah orangtuamu. Ingatan masih sangat kuat melekat, aku dan kamu sedang berayun-ayun di situ. Berayun-ayun pula kerinduanku.
*
Perayun biru mulai berkarat pada bidang bekas duduk orang di kedua tepinya. Matahari yang garang tidak mampu melampaui hadangan rindang dedaun rambutan.
Aku duduk di situ selagi mudik hari pertama. Berayun-ayunlah aku sendiri. Terbayanglah kamu ada di tepi satunya, seperti waktu-waktu lalu. Aku memang sengaja kembali ke situ setelah mendapat kabar bahwa kamu akan menikah setelah lebaran nanti.