Kebetulan aku melihatmu di situ. Ya, kebetulan, pikirku, meski ada gugup yang menyusup di antara debar dadaku. Gugup tidak bersekutu dengan langkahku, Lia. Berbeloklah aku, menemuimu. Kamu menoleh ke arahku dengan senyum yang entah apa maknanya.
“Jalan kaki saja; di mana kuda besimu berada, Ji?”
“Di kandangnya.”
“Sedang rewelkah? Makanya, ajak-ajaklah dia bersamaku jalan-jalan ke pantai Matras, ke air panas Pemali, dan lain-lain, pasti dia tidak akan rewel lagi.”
“Tidak rewel, Lia. Cuma mau berganti suasana.”
“Gantilah kereta kencana, seperti para pangeran.”
Pangeran ? Ah, pangeran dari kampung, apa? Geli hatiku, Lia. Tapi malam ini kenapa kamu sendirian di situ? Ke mana Andi, atau Budi, atau Charli, ataupun Deni?
Aku urung menanyakan para ‘pangeran’-mu itu. Jangan sampai nama-nama itu merusak suasana yang sedang mengajakku bersahabat malam ini, dan berdua denganmu di perayun biru.
*
Langit bertabur bintang, bulan tampak anggun mengangkang. Malam kesekian aku duduk di sampingmu di perayun biru. Aku hanya bisa mendengarkan kisah-kisahmu, apa saja. Aku suka, Lia. Apalagi dengan ayunan lembut perayun biru, makin hanyutlah aku dalam khusyuk kisahmu.
Ketika kita sedang menikmati goyangan perayun biru, di sudut lancip langit depan kita tampak sebuah titik putih jatuh.