Dia membalas lambaianku, sepintas, lantas berbalik lagi, melanjutkan perjalanannya sampai kulihat tubuhnya lenyap dalam dekapan pekatnya kelam malam nan dingin.
Biarkan saja, bisik batinku. Tak usah heroik. Ada yang lebih penting daripada soal gadis cantik itu.
Apa lagi kalau bukan ketentraman, kenyamanan dan keamanan diriku sendiri di waktu-waktu mendatang selama aku masih ingin menikmati senja yang akan terus-menerus mementaskan panorama gemilangnya di ujung barat pulau kami ini, ditingkahi kapal-kapal nelayan berbendera aneka rupa bergerak hendak menjemput harta karun alam yang tersimpan di perut laut, diiringi sorak-sorai burung-burung walet yang mungkin bangga tinggal di gedung jangkung, serta kadang satu-dua perahu besar melintas atau bila senja telah habis maka barisan kunang-kunang tampak tertata di sekujur badan legam perahu-perahu besar itu.
Itulah yang kurasa lebih penting daripada terseret arus rawan dalam hubungan dua orang muda yang berbeda jenis kelamin, kendati rasa kecewa, jengkel, dan penasaran selalu saja menggoda pikiran dan perasaanku pada waktu itu.
*******
Muntok-Sungailiat, Juli-Sept 2004Â Â Â
*) Terinspirasi oleh cerpen-cerpennya Seno Gumira Ajidarma yang bernuansa senja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H