“Ya, begitulah. Bila mendung bukan karena musim penghujan, lambat-laun matahari akan menunjukkan keagungannya menduduki angkasa raya. Tapi bila mendung sudah menghadang di ufuk barat, tentu saja senja tak akan pernah bisa memagut wajah laut.”
Gadis itu menoleh ke arahku seraya, lagi-lagi, mengibarkan senyumnya yang terindah.
“Oh, iya. Telah sekian kali kita berjumpa di sini untuk menyaksikan pentas senja sebelum hari menjadi kelam ditinggalkannya sambil ngobrol ini-itu, aku belum juga tahu namamu. Boleh kutahu namamu?” Tidak lupa kusodorkan tangan kanan dengan penuh harap mendapat satu nama dari bibir indahnya.
Dia menoleh padaku disertai sekuntum senyum yang jauh lebih kuntum daripada mawar terbaik di dunia.
“Pertanyaan kesepuluh,” jawabnya lalu kembali berpaling ke arah barat untuk menikmati senja yang mahir melukis keindahan dirinya di permadani biru berombak dan kapal-kapal nelayan berangkat menjemput harapan di hamparan laut yang senantiasa mengaruniai harta karun kehidupan bagi mereka atau juga sesekali perahu besar melintas.
***
Tidak jarang aku merasa diriku tidak layak dipercayainya sebagai… ah, entahlah. Entahlah, dia menganggapku sebagai siapa dalam perjumpaan-perjumpaan kami. Aku belum mengerti, kenapa dia begitu rapat menutup sejengkal jejak jati dirinya.
Bayangkan. Sejak sekian kali berjumpa dan hanya kulontarkan pertanyaan sewajarnya dalam perkenalan menuju hubungan yang lumrah, masih saja gadis itu tidak memberi jawaban yang kubutuhkan. Nama dan tempat tinggal atau asal-usul.
Itu pun belum kalau kutanyakan tanggal lahirnya, punya berapa saudara, anak nomor berapa, dalam rangka apa sebenarnya berada di dermaga ini (wisata, urusan pekerjaan, kepentingan penelitian, menanti kekasih atau suami, dan lain-lain). Satu kali pernah kutanyakan kenapa dia berada di situ, jawabannya cukup membuat merah mukaku, “Aku sering kok kemari sebelum kita berjumpa pertama kali dulu. Aku suka melihat sang kala menghabiskan hari tanpa lupa membagi hikmahnya.”
Kutarik lagi tanganku. Kuurungkan saja niat berkenalanku. Aku mulai merasa tak usah susah-payah mengerti seberapa penting jati diri gadis itu bagiku.
Kupikir, toh kedatanganku ke mari bukan karena keberadaan gadis berambut lurus menjuntai di bawah bahu, bermata agak sipit, berhidung mancung, berdagu mirip sarang madu, berkulit cerah dan bertubuh langsing itu. Toh sejak pertama dia mendatangi kesendirianku di tebing tembok miring itu, aku tidak terlalu menganggapnya berlebihan dalam relung hatiku.