Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis yang Menemaniku Menikmati Senja*

17 Februari 2016   13:51 Diperbarui: 18 Februari 2016   01:07 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dia serius, walaupun bukan untuk mengintimidasiku. Aku menyadari sesuatu. Ekor mataku menangkap pandangan beberapa orang di sekitar kami.

Oh! Jangan main-main di sini, seru batinku. Bisa celaka. Rupanya dia belum mau memercayaiku sepenuhnya. Atau barangkali maraknya berita perkosaan di media massa sudah cukup mencemaskannya. Namun dia sama sekali tidak menampakkan sikap gugup sebagai bagian kecemasan.

“Aduh, duh, duh… Sorry deh kalau begitu. Aku mengantarmu di sini saja, ya?”

Dia tersenyum sesaat, lalu segera berlari kecil ke arah jalan gelap yang konturnya menurun. Rambutnya bergoyang-goyang. Beberapa helai melayang-layang.

Mungkin dia tinggal di situ, pikirku. Tapi, apakah di situ ada perkampungan, perumahan atau semacam real estat?

Aku masih buta tentang kota yang berpenduduk menggunakan logat Melayu ini. Bagaimana bila kapan-kapan aku menunggunya di jalan itu? Tapi, kalau dia tahu, toh dia bakal urung melewati jalan itu. Dan, kalau memang dia punya itikad baik dalam persahabatan yang wajar, toh dia tidak akan semena-mena mencurigai aku dan rapat menyembunyikan nama dan asal-usulnya.

Aku berdiri mematung. Hanya punggung dan geraian rambutnya yang bisa kutatap. Aku tidak menguntitnya, karena aku mengkhawatirkan keselamatanku sendiri (apabila tiba-tiba dia berteriak minta tolong). Ini tidak main-main.

Aku sadar, berada di kota ini statusku cuma pelancong kecil-kecilan. Jangan sampai besok pagi aku pulang dalam kondisi diri yang berubah, sebagai pelancung. Dari rumah keadaanku segar-bugar dan bilang kepada keluarga bahwa aku hendak menikmati matahari berpamitan di sini, masak kembali ke rumah dalam keadaan yang mengenaskan karena sebuah nama, bahkan, naasnya, sebersit cinta percuma dengan berlagak heroik.

Setelah jarak kami menjurang sampai kira-kira puluhan meter, mendadak dia berhenti di bawah sebuah lampu mercuri sebelum meneruskan perjalanannya menembus gelap-gulita berbaur dingin. Lalu dia berbalik, menghadapku.

“Sampai jumpa di Sabtu depan. Selamat bermalam Minggu!”

“Ya, mudah-mudahan! Tapi, sorry, nggak janji!” sahutku keras seraya melambai. “Nikmati malam Minggumu! Bye!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun