Kuingatkan lagi diriku pada tujuan awal ke mari. Nyaris setiap Sabtu menjelang sore berangkat dari Sungailiat menuju Pangkalpinang (karena menjelang sore hari tidak ada lagi angkutan umum menuju Muntok), lalu menumpang angkutan terakhir menuju kota ini, semata-mata aku hendak menyaksikan matahari mengakhiri keagungan dengan menjelma senja yang penuh pesona sembari melukis dirinya di permadani laut berkontur hidup, disemaraki oleh tarian kapal-kapal nelayan berbendera aneka rupa.
Senja itulah yang paling penting sepenting fajar yang selalu kusaksikan singsingannya di ujung timur dermaga Kampung Nelayan di kotaku.
***
Azan magrib telah sejak beberapa menit tadi berkumandang dari arah beberapa surau kampung. Senja sudah habis sama sekali diinjak kaki langit. Lampu mercu suar warisan kolonial Belanda di ujung tanjung nun di sana berkerlap-kerlip. Kami pun beranjak dari tebing tembok beton miring ini, lalu berjalan beriringan ke luar dermaga.
“Aku menginap di penginapan Mentok,” kataku tanpa ditanya olehnya. “Besok pagi-pagi, aku naik angkutan umum pertama untuk pulang, dan entah kapan akan berkunjung ke sini lagi.”
Gadis itu menoleh sebentar ke arahku tanpa menghentikan langkahnya, kemudian kembali menatap ke depan. Sesekali dia masih mengulas senja tadi dan membandingkannya dengan senja-senja yang telah kami saksikan, termasuk situasi serta kegiatan orang-orang di sekitar dermaga itu yang tidak terusik oleh betapa pun eloknya senja.
Di luar pembicaraan seputar senja atau juga kadang tentang situasi kota dan pertokoan yang sedang kami lintasi hingga tak lama lagi aku bakal menuju penginapan tertua di kota ini, gadis cantik itu tidak sekilas pun menyinggung tentang tempat tinggalnya.
Masa bodohlah, pikirku.
Kami terus membelah lalu-lintas orang di trotoar pertokoan yang masih kental dengan gaya arsitektur kolonial bercampur lokal yang bersimbah pelangi elektrik. Pada langkah-langkah tertentu gadis itu sekonyong-konyong mempercepat langkahnya laksana diburu sesuatu.
Aku berusaha mengimbangi langkahnya. Tapi sekonyong-konyong pula dia menghentikan ayunan kaki.
“Please deh, tidak usah mengantarkan aku. Aku sudah besar, bukan anak kecil lagi,” tutur gadis yang tinggi posturnya tidak melebihi ujung atas telingaku itu dengan suara lirih. Tak lupa matanya mengerling dan senyumnya menyungging.