Mohon tunggu...
Agustinus Wahyono
Agustinus Wahyono Mohon Tunggu... Arsitek - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009; asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan pernah belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari). Buku tunggalnya, salah satunya adalah "Belum Banyak Berbuat Apa untuk Indonesia" (2018) yang berisi artikel non-fiksi dan berstempel "Artikel Utama" di Kompasiana. Posel : agustinuswahyono@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis yang Menemaniku Menikmati Senja*

17 Februari 2016   13:51 Diperbarui: 18 Februari 2016   01:07 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tidak mau gegabah. Matahari hanya merayap perlahan sejak ucapan salam cemerlangnya disambut nyanyian unggas, tidak serta-merta hinggap di atas kepala atau tiba-tiba tak sabar memamerkan lukisan dirinya di ufuk barat sana. Apalagi hidupku bukanlah seperti matahari yang jelas perjalanannya, kecuali kiamat melakukan inspeksi mendadak. Maksudku, dalam hubungan antara sepasang orang muda, aku tidak mau lagi sembarang memvonis pada diriku sendiri bahwa itu suatu ‘hubungan istimewa‘ atau sebut saja “cinta”.

Sejak kandasnya sekoci cintaku dengan seorang perempuan (yang ternyata salah seorang peselingkuh ulung yang lihai menarikan lidah dan menafikkan realita) yang terhitung belum genap satu purnama lampau dan yang membuat aku senantiasa gelisah mensketsa peta masa depanku sendiri, aku justru kian waspada dalam mengelola perasaanku.

Dulu aku tersindir oleh virus di komputer yang dibuat oleh pemuja seorang gadis bernama Roro yang menjadi korban Patkaisme berbunyi “Beginilah cinta, deritanya tiada akhir”. Pada saat-saat menjelang kandasnya sekoci cintaku, virus itu tiba-tiba muncul (mungkin dulu itu akibat aku sering menggunakan disketku untuk mengirim atau menerima email di beberapa warnet, yang kata tukang pembaik komputer, sangat gampang dirasuki virus-virus ganas internet).

***

Tak jarang aku was-was bila aku akan berangkat dari kotaku, sewaktu di perjalanan  hingga ketika aku memesan kamar di sebuah penginapan berdinding papan tua (penginapan langgananku sejak pertama aku ingin tahu sedikit suasana kabupaten lain di pulau kami hingga aku ketagihan pada pesona senja) di sini sebelum senja menyalakan sinyal pementasannya.

Betapa tidak. Saat-saat itu sekonyong-konyong batinku bertanya-tanya “apakah sebentar lagi gadis itu datang juga”. Bahaya! Begitu peringatan langsung dari pikiranku. Ya, bahaya. Gawat. Hati-hati.

Aku tidak rela perasaanku berkeliaran mencari tempat perhentian yang justru bakal menjerumuskan jiwaku dalam lubang kesengsaraan yang sama. Bukankah persahabatan akan terasa lebih aman, nyaman dan tentram daripada melibatkan rasa cinta tanpa ‘peta’ serta ‘kompas’ yang bisa diandalkan? Bukankah aku belum begitu mengenal gadis yang usianya kutaksir belum genap 20 tahun itu, asal-usulnya sampai sekilas kisah hidup yang bisa kuproyeksikan bentuk perasaan apa atau cinta model apa yang dimilikinya? Jika ternyata gadis itu tidak berbeda dengan mantan pacarku yang tak pernah merasa bersalah kala mencederai cinta, bukankah sudah lebih dari cukup kurasakan pedih-perih belati pengkhianatan menikam serta mencabik segenap perasaanku?

Ah, cinta sebegitu mudahnya, gumamku pada udara garam yang bergetar di tebing tembok miring ini.

***

Pada waktu lainnya aku berusaha mengalihkan aliran pikiran dan perasaanku dari jebakan pertanyaanku seputar datang-tidaknya gadis itu. Kufokuskan perhatian pada beberapa remaja putera yang sedang memancing di jarak sekitar belasan meter dari tempat dudukku di tebing tembok miring ini.

Alat pancing mereka berupa kail dan senar panjang yang digulung pada sebuah kaleng, yang kukenal dengan sebutan “pancing ambur”. Mereka memiliki beberapa alat pancing itu. Umpannya berupa secuil empek-empek yang belum digoreng.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun