Dengan berbekal obor ia bertandang dari satu pondok ke pondok lainnya. Senandung serangga malam membuat suasana begitu mencekam. Ia harus menemukan anak bujangnya, dan anak bujangnya harus pulang. Hasilnya selalu nihil, bahkan diulangi lagi ke pondok-pondok. Akhirnya ia memutuskan pulang dengan harapan semoga besok atau lusa anak bujangnya pulang.
Â
Sekitar beberapa puluh langkah mencapai pondoknya, ia berteriak-teriak memanggil istrinya. Lalu sunyi, disusul sayup-sayup suara raungan binatang besar, dan kembali berganti senandung serangga malam. Istrinya sempat terbangun namun mengira suara panggilan itu hanya halusinasi. Besoknya, lusanya, hingga hari-hari sesudahnya, ayah si pemuda hilang itu juga dianggap ikut hilang. Suatu kutukan ayah-anak lelaki pun terceletuk dari setiap penuturan kalangan tua.
Â
*
Â
Keberadaan naga beserta wilayah kerajaannya tak pelak menjadi kisah nyata yang sering dibawa oleh orang-orang yang pulang entah dari mana. Selalu saja mengenai jejak-jejak naga, baik bekas bertapa maupun serpihan sisik-sisik naga. Juga setiap malam purnama yang sedikit digantungi mendung dan sebersit api di langit.
Â
Pada suatu siang yang terik para orang tua berkumpul. Mereka membahas kejadian-kejadian serius serta hilangnya seorang pemuda lalu disusul ayahnya secara misterius. Bukan binatang liar biasa yang berkeliaran, yang selama ini harus diwaspadai. Melainkan, sampai pada suatu kenyataan, yang mau-tidak mau harus diyakini, bahwa selama ini mereka hidup di wilayah kekuasaan naga.
Â
Begitulah. Naga-naga dan wilayah kerajaannya adalah pokok bahan pembicaraan penting bahkan genting. Dibahas pula peristiwa-peristiwa usang. Batang berdarah, batang berpindah, gua-gua, dan entah apa lagi, menuju satu prasangka untuk diyakini. Bukan suatu kebetulan lagi melainkan ular-ular raksasa memang bertapa sebelum menjadi naga sejati.