Cerita tentang kerajaan naga di sebuah gunung mati sebenarnya milik masyarakat turun-temurun di sana. Sengaja diceritakan kembali di sini supaya kau bisa menambah wawasan mengenai semesta raya yang sama sekali belum dijelajahi bahkan dijajaki oleh manusia rakus. Patut kau ingat, makhluk tersebut adalah naga, bukan sekadar ular raksasa.
Sebelum sekelompok masyarakat, yang waktu itu hanya sekitar lima belas kepala keluarga, menyebut “pelataran kerajaan naga” alias “rimba larangan”, tentu saja sekilas berupa rimba belantara biasa. Hutan adalah habitat semesta yang menghidupi sekelompok masyarakat itu. Bagi mereka, hutan adalah ibu yang memberi mereka makan-minum melalui binatang yang merayap, merangkak atau melompat di tanah; binatang yang berenang dan menyelam di air; binatang yang terbang atau melayang-layang di udara dan di antara pepohonan; tetumbuhan yang berbuah, bermadu dan berair.
Mereka membangun pondok-pondok di atas pepohonan yang berdekatan dengan aliran sungai atau sumber mata air. Untuk keluarga yang memiliki kakek-nenek renta, pondoknya berpanggung dengan ketinggian dua orang dewasa. Jarak antarpondok pohon mereka tidaklah berdekatan. Mereka bisa berkumpul bila ada suatu kerja bersama, misalnya membuka daerah baru atau mandi di sebuah sungai.
Dalam pengerjaan pondok, tak jarang mereka menemukan seonggok tengkorak beserta tulang belulang manusia. Bentuknya membujur dengan kedua tulang lengan di sisi-sisinya. Tak ayal mereka segera menimbun serta memberi tanda. Mereka menduga-duga, wilayah itu pernah dijajaki orang-orang.
*