Mohon tunggu...
Agustinus Gereda Tukan
Agustinus Gereda Tukan Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Hobi membaca dan menulis. Selain buku nonfiksi, menghasilkan tulisan narasi, cerpen, esai, artikel, yang termuat dalam berbagai media. Minat akan filsafat, bahasa, sastra, dan pendidikan. Moto: “Bukan banyaknya melainkan mutunya” yang mendorong berpikir kritis, kreatif, mengedepankan solusi dan pencerahan dalam setiap tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Antar Dulang" dalam Masyarakat Lamaholot, Ekspresi Solidaritas atau Pemborosan?

5 Agustus 2024   06:10 Diperbarui: 5 Agustus 2024   14:27 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA

Menurut Robinson (2015), dalam Tradition and Modernity in Indonesia, beban ekonomi yang dihadapi oleh keluarga-keluarga ini sering diperparah oleh kurangnya akses terhadap sumber daya ekonomi yang lebih besar dan pekerjaan yang layak, sehingga menjadikan partisipasi dalam tradisi sebagai sebuah dilema.

Pemborosan sumber daya adalah masalah lain yang sering muncul dalam pelaksanaan "antar dulang." Banyaknya makanan dan barang yang diantarkan dalam acara sering kali melebihi kebutuhan, yang dapat mengakibatkan pemborosan dan bahkan mubazir. 

Menurut Alfian (2014), dalam Kebudayaan dan Pemborosan: Studi Kasus Indonesia, pemborosan ini tidak hanya berdampak negatif terhadap lingkungan, tetapi juga mencerminkan penggunaan sumber daya yang tidak efisien, yang seharusnya dapat dialokasikan untuk kebutuhan lain yang lebih mendesak. 

Turner (2017), dalam Ritual, Economy, and Society, menambahkan bahwa di era modern ini, masyarakat harus lebih bijaksana dalam menyeimbangkan antara penghormatan terhadap tradisi dan kebutuhan akan efisiensi sumber daya untuk memastikan keberlanjutan sosial dan ekonomi.

Tekanan sosial untuk mempertahankan gengsi juga memainkan peran dalam tradisi "antar dulang." Tekanan sosial untuk memberikan yang terbaik dapat menyebabkan individu atau keluarga merasa terpaksa berkontribusi lebih dari yang seharusnya, hanya untuk menjaga citra atau reputasi di mata komunitas. 

Menurut Geertz (1973), tindakan-tindakan sosial yang didorong oleh gengsi ini sering menyebabkan ketidakseimbangan antara aspirasi pribadi dan kemampuan nyata, menciptakan tekanan psikologis yang tidak perlu. 

Suryadinata (2010), dalam Budaya dan Gengsi di Indonesia, juga menekankan bahwa budaya gengsi dapat menghalangi inovasi sosial yang diperlukan untuk menyesuaikan tradisi dengan konteks ekonomi dan sosial yang berubah. Dalam konteks ini, tantangan utama adalah bagaimana menjaga esensi dari tradisi tanpa terjebak dalam siklus gengsi yang membebani.

Pendekatan Solusi

Untuk mempertahankan tradisi "antar dulang" tanpa membebani ekonomi masyarakat atau menyebabkan pemborosan, diperlukan pendekatan solusi yang kreatif dan adaptif. Beberapa solusi berikut dapat dipertimbangkan.

Kesepakatan bersama: Membuat kesepakatan bersama di antara anggota komunitas tentang jumlah dan jenis barang yang diantar bisa menjadi langkah awal yang efektif. Kesepakatan ini dapat membantu menyeimbangkan antara penghormatan terhadap tradisi dan kebutuhan untuk menghindari pemborosan. 

Fischer (2014) menekankan pentingnya dialog dan konsensus komunitas dalam menyesuaikan praktik tradisional dengan realitas ekonomi dan sosial modern. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun