Dalam masyarakat Lamaholot, yang mencakup wilayah Flores Timur, Adonara, Solor, Lembata, dan Alor, tradisi "antar dulang" merupakan bagian integral dari kehidupan sosial dan budaya. Kebiasaan serupa juga ditemukan pada berbagai masyarakat lain di Indonesia.
Tradisi ini melibatkan pengantaran sejumlah makanan dan barang oleh keluarga dan kerabat kepada pihak yang mengadakan pesta, khususnya pernikahan.
Sebagai simbol solidaritas dan kekeluargaan, "antar dulang" menunjukkan kekuatan ikatan sosial yang mengakar kuat dalam budaya Lamaholot. Meskipun masyarakatnya yang merantau jauh dari tanah asalnya tetap melestarikan tradisi ini, menghadapi tantangan-tantangan baru di tengah dinamika ekonomi dan sosial.
Di satu sisi, "antar dulang" memperkuat solidaritas dan kebersamaan, menjadi sarana untuk menunjukkan dukungan dan kepedulian di antara anggota komunitas. Nilai-nilai ini esensial dalam mempertahankan kohesi sosial, dan memastikan bahwa setiap individu merasa menjadi bagian dari masyarakat yang lebih besar.
Namun, di sisi lain, tradisi ini juga menimbulkan sejumlah tantangan. Bagi beberapa keluarga, "antar dulang" dapat menjadi beban ekonomi yang berat. Mereka yang berada dalam kondisi ekonomi yang kurang mungkin merasa tertekan berpartisipasi meskipun sumber daya terbatas, khawatir dianggap tidak solider atau kehilangan muka di mata komunitas.
Selain itu, tradisi ini juga dapat menimbulkan pemborosan, karena makanan dan barang yang disediakan melebihi kebutuhan dan berakhir mubazir. Aspek gengsi juga memainkan peran, sehingga tekanan sosial mendorong masyarakat untuk memberikan yang terbaik, meskipun hal ini dapat menambah beban ekonomi.
Artikel ini berusaha mengeksplorasi dinamika antara solidaritas dan pemborosan dalam tradisi "antar dulang" masyarakat Lamaholot, serta mencari solusi agar tetap relevan dan berkelanjutan tanpa mengorbankan nilai-nilai positif yang dikandungnya.
Nilai Positif Tradisi
Tradisi "antar dulang" dalam masyarakat Lamaholot adalah bagian penting dari ritual sosial yang terjadi pada acara-acara penting, terutama dalam konteks pernikahan.
"Dulang" merujuk pada wadah tempat membawa berbagai macam persembahan berupa makanan dan barang yang diserahkan kepada keluarga yang menyelenggarakan acara.
Menurut Moriarty (2012), dalam buku Cultural Traditions of Eastern Indonesia, "antar dulang" merupakan simbol kuat dari ikatan sosial yang menegaskan hubungan timbal balik antara individu dan komunitasnya.
Dalam konteks masyarakat tradisional seperti Lamaholot, setiap acara adat tidak hanya menjadi momen penting bagi pihak yang merayakan, tetapi juga kesempatan untuk memperkuat hubungan sosial antar keluarga dan kerabat.
Menurut Simarmata (2016), dalam Tradisi dan Perubahan Sosial di Indonesia, tradisi ini berfungsi sebagai mekanisme sosial untuk memperkuat solidaritas, mengingatkan setiap anggota komunitas akan tanggung jawab sosialnya dan keterikatan yang lebih besar terhadap kelompok.
Tradisi "antar dulang" menjadi simbol solidaritas yang nyata di antara anggota masyarakat. Dalam kebudayaan Lamaholot, tindakan mengantar dulang bukan sekadar kewajiban sosial, melainkan ekspresi nyata solidaritas dan dukungan terhadap sesama. Geertz (1973), dalam The Interpretation of Cultures, menyatakan bahwa dalam konteks kebudayaan, tindakan-tindakan seremonial seperti ini memperkuat rasa saling memiliki dan keterikatan emosional antar anggota komunitas.
Kebersamaan, yang menjadi salah satu nilai inti juga tercermin dalam pelaksanaan tradisi ini. Kegiatan persiapan dan pengantaran dulang melibatkan banyak anggota komunitas, menciptakan suasana gotong royong dan kerja sama.
Fischer (2014), dalam Ritual and Society in Southeast Asia, menekankan bahwa kebersamaan dalam kegiatan tradisional membantu memperkuat struktur sosial dan meningkatkan rasa saling percaya antar individu dalam komunitas.
Dukungan komunitas yang kuat menjadi salah satu alasan mengapa tradisi ini tetap bertahan. Dalam acara pernikahan adat, keluarga yang mengadakan pesta tidak hanya dibantu secara material, tetapi juga mendapatkan dukungan moral dari seluruh komunitas. Ini menciptakan jaringan sosial yang saling menopang, yang penting bagi stabilitas sosial.
Turner (1969), dalam The Ritual Process: Structure and Anti-Structure, menggambarkan bagaimana ritual sosial dapat memperkuat hubungan sosial dengan menawarkan kesempatan untuk interaksi dan kolaborasi.
Tantangan dan Masalah
Tradisi "antar dulang" dalam masyarakat Lamaholot, meskipun kaya akan nilai-nilai positif seperti solidaritas dan kebersamaan, tidak lepas dari berbagai tantangan dan masalah yang dihadapi oleh para pelakunya. Tantangan ini meliputi beban ekonomi bagi keluarga kurang mampu, pemborosan sumber daya, dan tekanan sosial untuk menjaga gengsi.
Salah satu tantangan utama dari tradisi "antar dulang" adalah beban ekonomi yang ditimbulkannya, terutama bagi keluarga yang kurang mampu. Setiap keluarga diharapkan untuk berpartisipasi dalam acara adat dengan memberikan sumbangan dalam bentuk makanan dan barang yang tidak jarang melebihi kapasitas finansial mereka.
Sibarani (2012), dalam buku Nilai Budaya dalam Tradisi Lisan, mengungkapkan bahwa tekanan sosial untuk berpartisipasi dalam tradisi seperti ini dapat menambah beban ekonomi yang signifikan, terutama ketika keluarga merasa terpaksa meminjam uang atau mengorbankan kebutuhan dasar untuk memenuhi ekspektasi komunitas.
Menurut Robinson (2015), dalam Tradition and Modernity in Indonesia, beban ekonomi yang dihadapi oleh keluarga-keluarga ini sering diperparah oleh kurangnya akses terhadap sumber daya ekonomi yang lebih besar dan pekerjaan yang layak, sehingga menjadikan partisipasi dalam tradisi sebagai sebuah dilema.
Pemborosan sumber daya adalah masalah lain yang sering muncul dalam pelaksanaan "antar dulang." Banyaknya makanan dan barang yang diantarkan dalam acara sering kali melebihi kebutuhan, yang dapat mengakibatkan pemborosan dan bahkan mubazir.
Menurut Alfian (2014), dalam Kebudayaan dan Pemborosan: Studi Kasus Indonesia, pemborosan ini tidak hanya berdampak negatif terhadap lingkungan, tetapi juga mencerminkan penggunaan sumber daya yang tidak efisien, yang seharusnya dapat dialokasikan untuk kebutuhan lain yang lebih mendesak.
Turner (2017), dalam Ritual, Economy, and Society, menambahkan bahwa di era modern ini, masyarakat harus lebih bijaksana dalam menyeimbangkan antara penghormatan terhadap tradisi dan kebutuhan akan efisiensi sumber daya untuk memastikan keberlanjutan sosial dan ekonomi.
Tekanan sosial untuk mempertahankan gengsi juga memainkan peran dalam tradisi "antar dulang." Tekanan sosial untuk memberikan yang terbaik dapat menyebabkan individu atau keluarga merasa terpaksa berkontribusi lebih dari yang seharusnya, hanya untuk menjaga citra atau reputasi di mata komunitas.
Menurut Geertz (1973), tindakan-tindakan sosial yang didorong oleh gengsi ini sering menyebabkan ketidakseimbangan antara aspirasi pribadi dan kemampuan nyata, menciptakan tekanan psikologis yang tidak perlu.
Suryadinata (2010), dalam Budaya dan Gengsi di Indonesia, juga menekankan bahwa budaya gengsi dapat menghalangi inovasi sosial yang diperlukan untuk menyesuaikan tradisi dengan konteks ekonomi dan sosial yang berubah. Dalam konteks ini, tantangan utama adalah bagaimana menjaga esensi dari tradisi tanpa terjebak dalam siklus gengsi yang membebani.
Pendekatan Solusi
Untuk mempertahankan tradisi "antar dulang" tanpa membebani ekonomi masyarakat atau menyebabkan pemborosan, diperlukan pendekatan solusi yang kreatif dan adaptif. Beberapa solusi berikut dapat dipertimbangkan.
Kesepakatan bersama: Membuat kesepakatan bersama di antara anggota komunitas tentang jumlah dan jenis barang yang diantar bisa menjadi langkah awal yang efektif. Kesepakatan ini dapat membantu menyeimbangkan antara penghormatan terhadap tradisi dan kebutuhan untuk menghindari pemborosan.
Fischer (2014) menekankan pentingnya dialog dan konsensus komunitas dalam menyesuaikan praktik tradisional dengan realitas ekonomi dan sosial modern.
Dengan mengadakan pertemuan komunitas, anggota dapat mendiskusikan batasan atau panduan yang jelas mengenai kontribusi yang diperlukan, yang bisa disesuaikan dengan kemampuan masing-masing keluarga.
Sistem berbagi beban: Menggalakkan sistem berbagi beban antar-anggota komunitas juga merupakan solusi yang dapat mengurangi tekanan finansial pada individu atau keluarga tertentu.
Dalam sistem ini, komunitas dapat membentuk kelompok-kelompok yang bertanggung jawab untuk menyumbangkan jenis barang tertentu, sehingga beban tidak terletak pada satu atau dua pihak saja.
Menurut Bennett (2013), dalam Community and Sharing: The Economics of Cooperative Practices, praktik berbagi tidak hanya mengurangi beban ekonomi, tetapi juga meningkatkan solidaritas dan keterhubungan di dalam masyarakat.
Edukasi dan kesadaran: Meningkatkan edukasi dan kesadaran tentang dampak ekonomi dan lingkungan dari pemborosan dapat mendorong perubahan perilaku dalam pelaksanaan tradisi ini.
Taufik (2015), dalam Education for Sustainable Development in Indonesia, menekankan pentingnya pendidikan dalam menciptakan komunitas yang sadar akan dampak jangka panjang dari tindakan mereka.
Dengan mengadakan lokakarya atau diskusi komunitas, masyarakat dapat didorong untuk memikirkan kembali cara-cara untuk mempertahankan tradisi sambil meminimalkan dampak negatifnya.
Fleksibilitas dalam pelaksanaan: Memberikan fleksibilitas dalam pelaksanaan tradisi "antar dulang" juga bisa menjadi solusi. Hal ini memungkinkan keluarga untuk berkontribusi dalam bentuk yang berbeda, seperti menyumbang tenaga atau keterampilan sebagai alternatif dari sumbangan materi.
Menurut White (2016), dalam Ritual Flexibility: Adapting Tradition to Modern Needs, adaptabilitas dalam praktik ritual dapat membantu tradisi tetap relevan dan berkelanjutan dalam konteks sosial dan ekonomi yang berubah.
Penutup
Tradisi "antar dulang" dalam masyarakat Lamaholot merupakan simbol solidaritas dan kebersamaan yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Tradisi ini menggambarkan nilai-nilai inti yang penting dalam menjaga ikatan sosial dan kebudayaan, seperti dukungan komunitas dan kerja sama. Namun, di tengah perubahan sosial dan ekonomi yang cepat, tantangan baru muncul, termasuk beban ekonomi, pemborosan sumber daya, dan tekanan sosial dalam mempertahankan gengsi.
Dalam menghadapi era modern ini, fleksibilitas dan keterbukaan terhadap perubahan adalah kunci untuk menjaga tradisi tetap hidup dan bermakna. Tradisi tidak harus dihapuskan atau dilupakan, tetapi perlu disesuaikan agar selaras dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat saat ini.
Dengan demikian, "antar dulang" dapat terus menjadi sumber kebanggaan dan identitas budaya yang mengikat masyarakat Lamaholot, sekaligus memberikan kontribusi nyata bagi kesejahteraan komunitas, sambil mengurangi dampak negatifnya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H