Masyarakat adat di Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam mempertahankan hak-hak mereka, terutama dalam konteks hukum internasional. Salah satu contoh yang relevan adalah kasus masyarakat adat Suku Sakai di Riau. Suku Sakai, yang memiliki tradisi dan budaya yang kaya, telah berjuang untuk mendapatkan pengakuan atas tanah adat mereka yang telah mereka kelola secara turun-temurun. Dalam beberapa dekade terakhir, wilayah mereka telah terancam oleh eksploitasi sumber daya alam, seperti perkebunan kelapa sawit dan penambangan, yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar tanpa persetujuan masyarakat adat.
 Menurut laporan yang diterbitkan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada tahun 2018, sekitar 90% dari wilayah adat Suku Sakai telah dialokasikan untuk kepentingan komersial tanpa adanya konsultasi yang layak dengan masyarakat. Situasi ini menunjukkan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diatur dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP), yang mengakui hak masyarakat adat untuk mengelola dan menguasai tanah dan sumber daya alam mereka. Dalam hal ini, pelanggaran hak-hak masyarakat adat tidak hanya berdampak pada aspek sosial dan budaya, tetapi juga pada keberlangsungan hidup mereka.
 Kasus lain yang menarik perhatian adalah konflik antara masyarakat adat Dayak di Kalimantan dengan perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah mereka. Masyarakat Dayak telah lama mengklaim hak atas lahan yang mereka anggap sebagai tanah adat. Namun, perusahaan tambang sering kali mendapatkan izin dari pemerintah tanpa melibatkan masyarakat lokal. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) pada tahun 2020, ditemukan bahwa lebih dari 50% izin tambang di Kalimantan tidak memperhatikan keberadaan masyarakat adat dan dampaknya terhadap lingkungan serta kehidupan sosial mereka.
 Lebih jauh lagi, dalam konteks hukum internasional, pengakuan hak-hak masyarakat adat di Indonesia juga dipengaruhi oleh berbagai instrumen internasional. Misalnya, Konvensi ILO No. 169 tentang Masyarakat Adat dan Suku Terasing dalam Proses Pembangunan, yang mengharuskan negara-negara anggota untuk menghormati hak-hak masyarakat adat dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Namun, meskipun Indonesia telah meratifikasi konvensi ini, implementasinya masih sangat terbatas.
 Dalam rangka meningkatkan kesadaran dan perlindungan hak masyarakat adat, beberapa organisasi non-pemerintah, seperti Walhi dan Greenpeace, telah berupaya melakukan kampanye dan advokasi. Mereka berusaha untuk mendokumentasikan pelanggaran hak-hak masyarakat adat dan mendorong pemerintah untuk mengakui dan melindungi hak-hak tersebut. Namun, tantangan yang dihadapi masih sangat besar, mengingat adanya kepentingan ekonomi yang sering kali lebih diutamakan dibandingkan dengan hak-hak masyarakat adat.
 Tantangan yang Dihadapi Masyarakat Adat
 Diskriminasi dan MarginalisasiÂ
 Bentuk-Bentuk Diskriminasi Yang Dialami Masyarakat Adat
 Masyarakat adat di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, sering kali mengalami diskriminasi yang sistematis dan berkelanjutan. Diskriminasi ini dapat muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari pengabaian hak-hak dasar hingga penolakan terhadap identitas budaya mereka. Salah satu bentuk diskriminasi yang paling mencolok adalah pengabaian terhadap hak-hak sipil dan politik. Menurut laporan dari Amnesty International (2016), masyarakat adat sering kali tidak diberikan akses yang setara dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Hal ini terlihat jelas dalam banyak kasus di mana pemerintah lokal atau nasional tidak melibatkan masyarakat adat dalam perencanaan pembangunan, meskipun proyek tersebut berdampak langsung pada tanah dan sumber daya yang mereka kelola secara tradisional.
 Bentuk diskriminasi lainnya adalah penolakan terhadap pengakuan hukum atas hak atas tanah. Masyarakat adat di Indonesia, seperti suku Dayak di Kalimantan atau suku Badui di Banten, sering kali tidak memiliki sertifikat tanah yang sah, meskipun mereka telah mengelola tanah tersebut selama berabad-abad. Menurut data dari Forest Peoples Programme (2018), lebih dari 70% dari masyarakat adat di Indonesia tidak memiliki pengakuan formal terhadap hak atas tanah mereka. Hal ini membuat mereka rentan terhadap penggusuran dan eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan besar, yang sering kali didukung oleh pemerintah.
 Selain itu, diskriminasi juga dapat dilihat dalam akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan. Banyak masyarakat adat yang tinggal di daerah terpencil mengalami kesulitan untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan layanan kesehatan yang memadai. Menurut laporan dari UNICEF (2019), anak-anak dari masyarakat adat di Indonesia memiliki tingkat putus sekolah yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak non-adat. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kurangnya fasilitas pendidikan yang memadai, serta adanya stigma dan prasangka dari masyarakat luas terhadap budaya dan bahasa mereka.