Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Merdeka: Anak-Anak Macam Apa yang Akan Kita Wariskan buat Masa Depan Indonesia?

26 Maret 2023   22:16 Diperbarui: 26 Maret 2023   22:31 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sisi lain, pendidik harus selalu meng-upgrade dirinya, ilmunya, agar relevan dengan zaman, dan selaras dengan kebutuhan siswanya.

Orangtua juga didorong untuk berperan aktif. Berkomunikasi dengan pihak sekolah untuk berdiskusi lebih jauh tentang kemajuan anaknya. Dengan derajat yang mirip; kisah Thomas Alva Edison menjadi inspirasi tentang Merdeka Belajar. 

 

Sebagaimana cerita; guru Edison memberikan surat. Isinya mengatakan sekolah tidak sanggup mendidik Edison. Edison dinyatakan bodoh. Dan dikembalikan lagi ke orangtuanya.  

 Tak percaya dikatakan bodoh. Ibunya bertekad mendidiknya sendiri. Benar saja. Di tangan Ibunya, "anak bodoh" tersebut menjadi ilmuwan genius dengan penemuannya yang memengaruhi peradaban. 

 Apa yang dilakukan ibu tersebut? Mengetahui potensi anaknya dan mendidiknya dengan sepenuh hati. Sekuat tenaga meyakinkan anaknya dan dirinya; Edison bukan anak bodoh sebagaimana surat yang diterima dari gurunya.


Pada Kurikulum Merdeka, kejadian tersebut bisa diminimalisir. Kurikulum Merdeka seolah melihat masa depan anak dari kaca mata anak itu sendiri. Orangtua, Pendidik dan Pemerintah harus bertindak mendukung untuk itu.

Kedua, di Kurikulum Merdeka, guru berperan sebagai dokter bedah. Bukan saja mendiagnosis tapi juga melakukan operasi peserta didik sampai pada tingkat terkecil: sifat mereka, psikologis mereka, budaya mereka, dan ekonomi mereka. Lalu meramu sendiri, kerangka pengajaran yang fleksibel--metode apa yang paling cocok untuk diterapkan.

Saat memberikan sebuah materi, pendidik diberi kebebasan fokus pada materi esensial. Materi yang benar-benar harus dipahami anak. Tidak mengembang ke materi lain kalau memang tidak perlu. Tapi fokus dan mendalam. Tidak banyak materi tapi mendalam. Ibarat punya satu senjata, tapi sangat tajam. Di banding punya banyak senjata tapi tumpul semua.

Peserta didik pastinya suka. Keresahan karena banyaknya materi bisa dihindari. Jika peserta didik suka; itu awal kesuksesan belajar. Pastinya memudahkan guru mengajar. Sebaliknya jika tidak suka, yang terjadi adalah: resah, gelisah, gundah, dan pada akhirnya pasrah.

Selain itu, adanya kegiatan kokurikuler berupa Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dengan porsi sampai 30%. Diharapkan membuka sudut pandang siswa yang diperluas, tidak hanya di kelas tapi juga di alam bebas.

Ketiga, Sekolah sebagai institusi memberi peta jalan (pendampingan) yang diingini anak. Pemerintah memberi jaminan kenyamanan (regulasi) saat anak melewati jalan tersebut. Dan orangtua di rumah memberi dorongan untuk melanjutkan perjalanan (dukungan moril)

Di rumah orangtua harus satu pemahaman dengan metode di sekolah. Lihat anak sebagai individu yang tidak sama dengan orangtuanya. Beri mereka kebebasan untuk memilih. Menjadi seniman tak kalah kerennya dengan menjadi dokter.

Dengan mewadahi spesialisasi anak, akan berpengaruh kepada kepercayaan diri sang anak di sekolah. Pelajaran akan menjadi menyenangkan. Tidak ada beban yang menyiksa psikologis anak. Mereka menikmati pelajaran karena satu hal: Suka! Bukan terpaksa, atau dipaksa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun