Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Merdeka: Anak-Anak Macam Apa yang Akan Kita Wariskan buat Masa Depan Indonesia?

26 Maret 2023   22:16 Diperbarui: 26 Maret 2023   22:31 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perjuangan anak-anak di Delta Mahakam saat berangkat ke sekolah. Sumber: Kompas.com/Bayu Swara.

"Kenapa, sih, harus sekolah, Pa? Aku tidak mau sekolah. Membosankan. Membosankan. Membosankan!"

Di atas adalah narasi gerutuan anak saya. Anak laki-laki, kelas 2 Madrasah Ibtidaiyah. Sambil ngambek, terlihat wajah ironinya. Gabungan keterpaksaan berangkat sekolah, dan bertahan melanjutkan tidur. Situasi yang absurd.

Saya yakin, jika lenganku dibebat bladder tensimeter, lalu bulp ditekan-tekan, jarum angkanya pasti bergerak ke kanan dengan impresif. Saya tidak berniat membuat cerita fiksi. Sekali lagi tidak. Saya hanya ingin berbagi cerita tentang buah hati.

Gerutuan anak saya, jelas bentuk keengganan. Ketidaksukaan ketika harus berangkat sekolah. Kejadian yang boleh dikata sering. Sangat sering. Seolah menjadi rutinitas.  Ya, saat dibangunkan pagi hari. Pada Selasa, Rabu, Kamis, dan juga Jumat. Empat hari dalam seminggu. Menyisakan dua hari pengecualian yang penuh tanda tanya.

Dirinya juga pernah memprotes jumlah hari, "Pa, seharusnya seminggu itu tiga hari saja. Senin, Sabtu, dan Minggu?" Aku tahu arah keresahannya. Dia ingin mendeportasi jauh-jauh, hari dengan mata pelajaran yang dia tidak suka.  Aku jawab, "Ya, harusnya dua hari saja, Nak. Sabtu dan Minggu,"  Dia malah terkekeh. Tertawa puas.

Dunia Anak adalah Bermain

Hari Senin, menurutnya istimewa. Sebab, waktunya pelajaran matematika dan sains. Hari Sabtu waktunya bahasa inggris. Dia suka dua mata pelajaran itu. Sebabnya, dia menguasai materinya. Maka saat berangkat, dia penuh semangat.

Saat pulang pun tetap senang. Matanya berbinar. Sering dia cerita tentang hitungan matematika yang salah dari temannya. Atau cerita tentang temannya yang susah ngomong bahasa inggris. Sampai dia tertawa terpingkal. "Bahasa Inggrisnya seperti baling-baling di persawahan, Pa" Saat mendeskripsikan temannya sewaktu baca Bahasa Inggris, dengan diksi mendengung.

Hari Minggu lebih istimewa lagi. Dirinya bangun lebih awal. Tanpa perlu invasi audio; berisik jam beker, atau celotehan mamanya. Dengan semangat dia akan bangun. Bertemu dengan teman-temannya. Lalu janjian, bermain ke kolam mata air alami tidak jauh dari rumah. Berenang dan bercanda bersama. Sepuasnya. Sekuatnya.

Selesai berenang, kebiasaannya, dia akan cerita dengan antusias kepada mamanya. Saya merasakan ada kemerdekaan penuh dari narasi yang dirinya lontarkan. Kemerdekaan menikmati apa yang ingin dinikmati. Dalam hati tebersit tanya:

"Bisakah sekolah menciptakan kondisi kegairahan belajar layaknya bermain?"

Bersinergi Memahami Anak

 

Berangkat ke sekolah tidak sederhana yang dibayangkan. Ada alur cerita yang kompleks.  Orangtua bisa mendiagnosis apa yang terjadi di sekolah dengan melihat antusias anak saat berangkat. Itu ibarat perubahan warna kertas lakmus untuk mendeteksi asam atau basa.

Dalam lingkup yang lebih luas; keengganan berangkat sekolah yang terjadi pada anak saya, bisa jadi  sampel random yang mewakili populasi yang besar. Bahkan jauh lebih besar. Masalah yang lebih besar.

Ibarat gunung es. Yang muncul hanya secuil. Kenyataannya benjolan raksasa. Itu ibarat cermin yang memantulkan bayangan; ada yang harus diubah di sekolah. Ada komunikasi yang perlu dipahami di dalam keluarga. Ada regulasi yang perlu dibenahi oleh pemerintah.

Di lingkup Sekolah. Sekolah harus menjadi panggung ekspresi siswa. Tempat mengembangkan bakat tanpa ketakutan. Ibarat taman bermain, selayaknya menyenangkan. Tempat membangun relasi sosial yang hangat, dan penuh kekeluargaan. Jauh dari kekerasan.

Sekolah bukan penjara akademis. Membungkam suara anak. Menyeragamkan semua potensi anak. Mengurung anak dengan kehadiran fisiknya. Namun, tidak mampu merangkul spiritnya. Itu kesalahan. Itu kekeliruan.

Di lingkup Keluarga. Orangtua harus memahami secara mendalam. Bahwa setiap anak punya bakat uniknya masing-masing. Kadang anak takut mengekspresikan. Orangtua harus peka tentang itu. Maka harus ada komunikasi terbuka dua arah. Orangtua dan anak.

Sebagai gambaran. Tidak semua anak laki-laki gagah ingin berkarir di militer. Bergelut dengan olah fisik dan senapan. Tidak selalu. Bisa jadi keinginan terkuatnya; menjadi koki atau perancang busana.

Burung elang akan mudah diajari terbang, dibanding diajari berlari layaknya kucing. Setiap individu punya jalur alaminya masing-masing. Itulah bakat.

Di Tingkat Kebijakan. Pemerintah harus membuat regulasi yang jelas guna mendukung potensi anak sampai berlanjut di tingkat karir. Misal regulasi dalam hal gaji. Ada banyak profesi yang gajinya sangat tinggi. Namun ada juga profesi yang gajinya tidak jelas. Bahkan untuk hidup pun susah. Kesenjangannya sangat lebar. Terlampau lebar.

Padahal dalam kehidupan, perannya sama. Sama-sama penting. Misal menjadi petani dan dokter. Yang satu menyediakan pangan yang satunya mengobati. Mana yang lebih penting? Harusnya dua profesi ini tidak terlalu jauh penghasilannya. Karena perannya yang vital untuk kehidupan.

Merdekakan anak dalam belajar. Tapi jangan lupa; siapkan lapangan kerja untuk berkiprah. Orang-orang berbakat akan kelimpungan, tanpa sokongan sumber dana dari pekerjaannya. Indonesia tidak miskin SDM. Saya rasa tidak. Tapi kurangnya lapangan pekerjaan yang layak menampung SDM berbakat.

Kurikulum Merdeka

Pada 2023, menurut Menteri Keuangan Srimulyani, APBN menganggarkan Rp612,2 triliun untuk pendidikan. Dalam sejarah berdirinya Republik Indonesia, saat inilah anggaran terbesar untuk pendidikan. Tujuannya; meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia serta kesejahteraan stakeholder yang ada di dalamnya.

Sebagaimana kita tahu, kualitas pendidikan di Indonesia masih kedodoran saat bersaing di tingkat global. Pada 2018 hasil survei PISA menempatkan Indonesia di peringkat ke-74 dari 80 negara. Di tingkat universitas, pada 2023, perwakilan terbaik Indonesia--Universitas Indonesia--menempati ranking 577 dunia. 

Upaya pembenahan terus dilakukan pemerintah. Salah satunya di bidang kurikulum. Kurikulum Merdeka yang diluncurkan Kemendikbudristek pada Februari 2022, menjadi formula logis untuk mengurai benang kusut pendidikan di Indonesia. Saat ini. Dan juga nanti. Pastinya begitu.

Kurikulum Merdeka, mendorong kerangka pembelajaran yang fleksibel. Mudah diadaptasi secara lokal untuk memudahkan pembelajaran. Memudahkan pendidik mencapai target belajar, sekaligus menggali serta mendukung kecenderungan bakat terpendam anak.

Filosofi Merdeka Belajar; memberi ruang seluas-luasnya bagi anak didik mengekspresikan keinginan dan keunikannya dalam mempelajari ilmu untuk pengembangan karirnya pada masa depan. Hal ini sangat tepat, dan bermanfaat pada tataran riil. Bukan sekadar konsep belaka. Dan pastinya itu sangat menyenangkan.

Untuk itulah ada alasan kuat; mengapa Kurikulum Merdeka harus segera diterapkan pada satuan pendidikan di Indonesia:

Pertama, Kurikulum Merdeka mendorong pendidik, pemerintah, dan juga orangtua bersinergi memberi ruang gerak anak secara ideal. Memperlakukan setiap peserta didik sebagai entitas yang unik dan spesial. Itu poin dasar menghormati potensi keberagaman bakat pada diri anak.

Di sisi lain, pendidik harus selalu meng-upgrade dirinya, ilmunya, agar relevan dengan zaman, dan selaras dengan kebutuhan siswanya.

Orangtua juga didorong untuk berperan aktif. Berkomunikasi dengan pihak sekolah untuk berdiskusi lebih jauh tentang kemajuan anaknya. Dengan derajat yang mirip; kisah Thomas Alva Edison menjadi inspirasi tentang Merdeka Belajar. 

 

Sebagaimana cerita; guru Edison memberikan surat. Isinya mengatakan sekolah tidak sanggup mendidik Edison. Edison dinyatakan bodoh. Dan dikembalikan lagi ke orangtuanya.  

 Tak percaya dikatakan bodoh. Ibunya bertekad mendidiknya sendiri. Benar saja. Di tangan Ibunya, "anak bodoh" tersebut menjadi ilmuwan genius dengan penemuannya yang memengaruhi peradaban. 

 Apa yang dilakukan ibu tersebut? Mengetahui potensi anaknya dan mendidiknya dengan sepenuh hati. Sekuat tenaga meyakinkan anaknya dan dirinya; Edison bukan anak bodoh sebagaimana surat yang diterima dari gurunya.


Pada Kurikulum Merdeka, kejadian tersebut bisa diminimalisir. Kurikulum Merdeka seolah melihat masa depan anak dari kaca mata anak itu sendiri. Orangtua, Pendidik dan Pemerintah harus bertindak mendukung untuk itu.

Kedua, di Kurikulum Merdeka, guru berperan sebagai dokter bedah. Bukan saja mendiagnosis tapi juga melakukan operasi peserta didik sampai pada tingkat terkecil: sifat mereka, psikologis mereka, budaya mereka, dan ekonomi mereka. Lalu meramu sendiri, kerangka pengajaran yang fleksibel--metode apa yang paling cocok untuk diterapkan.

Saat memberikan sebuah materi, pendidik diberi kebebasan fokus pada materi esensial. Materi yang benar-benar harus dipahami anak. Tidak mengembang ke materi lain kalau memang tidak perlu. Tapi fokus dan mendalam. Tidak banyak materi tapi mendalam. Ibarat punya satu senjata, tapi sangat tajam. Di banding punya banyak senjata tapi tumpul semua.

Peserta didik pastinya suka. Keresahan karena banyaknya materi bisa dihindari. Jika peserta didik suka; itu awal kesuksesan belajar. Pastinya memudahkan guru mengajar. Sebaliknya jika tidak suka, yang terjadi adalah: resah, gelisah, gundah, dan pada akhirnya pasrah.

Selain itu, adanya kegiatan kokurikuler berupa Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila dengan porsi sampai 30%. Diharapkan membuka sudut pandang siswa yang diperluas, tidak hanya di kelas tapi juga di alam bebas.

Ketiga, Sekolah sebagai institusi memberi peta jalan (pendampingan) yang diingini anak. Pemerintah memberi jaminan kenyamanan (regulasi) saat anak melewati jalan tersebut. Dan orangtua di rumah memberi dorongan untuk melanjutkan perjalanan (dukungan moril)

Di rumah orangtua harus satu pemahaman dengan metode di sekolah. Lihat anak sebagai individu yang tidak sama dengan orangtuanya. Beri mereka kebebasan untuk memilih. Menjadi seniman tak kalah kerennya dengan menjadi dokter.

Dengan mewadahi spesialisasi anak, akan berpengaruh kepada kepercayaan diri sang anak di sekolah. Pelajaran akan menjadi menyenangkan. Tidak ada beban yang menyiksa psikologis anak. Mereka menikmati pelajaran karena satu hal: Suka! Bukan terpaksa, atau dipaksa.

Kesimpulan

Di tengah perubahan sosial budaya yang begitu massif, Indonesia harus punya benteng jati diri untuk melindungi kepentingan bangsa yang berdaulat, dan berkepribadian khas.

Kurikulum Merdeka, berperan sebagai salah satu benteng itu. Menjadikan Idiologi Pancasila sebagai pilar utama karakter keindonesiaan. Indonesia yang multikultur membutuhkannya. Sebagai tali pengikat. Rem perekat.  Maka cara paling bijak adalah memberikan estafet nilai-nilai Pancasila ke generasi sekarang. Dan juga nanti.

Kurikulum Merdeka memfasilitasi pengembangan karakter anak didik yang Pancasilais: beriman, menghargai perbedaan, bergotong royong, kreatif, dan mandiri.

Jika semua pihak memahami--dan bersinergi--maka ke depannya (kita semua berharap) bangsa Indonesia berpeluang besar menjadi negara maju. Berdaya saing global. Dengan tetap berkepribadian lokal yang menjunjung humanisme dan kebhinekaan secara luas.

Jika ada pertanyaan; "Anak-Anak Macam Apa yang Akan Kita Wariskan buat Masa Depan Indonesia?" Jawabannya ada di keputusan kita semua. Rakyat Indonesia.

                                                   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun