Mohon tunggu...
Telisik Data
Telisik Data Mohon Tunggu... Penulis - write like nobody will rate you

Fakta dan data otentik adalah oase di tengah padang tafsir | esdia81@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Uang, Gak Kenal Saudara dan Tidak Punya Agama

2 Agustus 2019   16:45 Diperbarui: 3 Agustus 2019   00:37 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi debt collector (kaltim.tribunnews.com).

Sebagai  manusia ekonomi, urusan mempunyai utang piutang bagi saya adalah hal biasa.

Sekian kali berurusan dengan masalah ini mengantar saya pada pemahaman lebih baik soal watak uang yang sebenarnya. Kata orang uang itu tidak kenal saudara dan agama. 

Awalnya saya pikir pendapat itu terlalu lebay, hiperbola. Tetapi setelah mengalami sendiri kejadian-kejadian yang berkaitan, berangsur-angsur akhirnya paham, pandangan itu ada benarnya juga.

Kerjasama usaha pertama yang saya lakukan dengan orang yang saya kenal baik gagal. Partner usaha dilihat dari segi kesalehan, laku ritual ibadahnya biasa saja, cenderung kurang. Ketika usaha jatuh karena salah urus, saya pikir wajar, mungkin ada faktor  attitude  yang menjadi sebab bisnis tidak berkembang. Walaupun kehilangan cukup lumayan, uang yang saya sertakan sebagai modal hangus begitu saja.

Setelah ada uang lagi, berikutnya saya coba kerjasama usaha lain.

Kali ini dengan orang yang dari segi agamanya baik, taat beribadah. Transaksi keuangan pun dicatat, karena saran dari Nabi memang begitu. Tapi apa daya, usaha ini juga gatot karena uang digunakan untuk hal di luar kesepakatan. Dan catatan pada akhirnya hanya tinggal catatan yang tak bermakna. 

Uang memang tidak hilang, tetapi dikembalikan dalam waktu lama, bertahun-tahun dicicil sedikit demi sedikit. Tidak sepadan dengan apa yang saya lakukan di awal, uang untuk modal usaha saya berikan penuh dalam bentuk cash. 

Pengalaman itu dan pengalaman orang lain yang saya tahu, memberikan pelajaran berharga tentang gambaran efek uang terhadap watak manusia.

Dua kali pernah kejadian PMP, prend makan prend (baca: friend makan friend), di kantor yang berbeda. Kawan saya tertipu puluhan juta oleh kawan saya yang lain gara-gara urusan kerjasama bisnis. Pelaku yang bertanggung jawab atas hilangnya uang setoran modal kemudian pergi entah ke mana.

Bagaimana orang menyikapi uang, termasuk di dalamnya masalah utang piutang atau untung rugi, ternyata relatif tidak berkaitan dengan jauh dekatnya kekerabatan atau pertemanan. 

Sikap orang terhadap uang juga cenderung tidak berhubungan dengan kesalehan seseorang dalam beribadah yang tampak secara lahiriah.

Yang taat beribadah belum tentu mampu menjaga kepercayaan dalam soal uang. Orang yang tidak beres dalam hubungannya dengan Tuhan justru mungkin sangat ketat dalam memegang prinsip-prinsip keuangan yang baik dan dapat dipercaya.

Ada  pula satu kesimpulan berharga bagi saya: uang yang sesungguhnya milik kita itu adalah uang yang secara real dapat kita kendalikan. 

Uang dalam bentuk piutang atau apalagi yang masih dalam bentuk "asumsi" keuntungan jangan pernah diyakini 100% adanya. Fifty fifty aja, itu lebih realistis ketimbang nanti kecewa berat akibat pehape.

Ketika memberi pinjaman pada siapapun, dalam bentuk pinjaman murni atau penyertaan modal, bersiaplah menerima kenyataan paling pahit: uang tidak kembali sepeser pun.

Bagi saya sendiri dalam posisi sebagai pengutang, kewajiban membayar selalu diusahakan agar dapat ditunaikan sesegera mungkin. Konsekuensinya, banyak hal harus dikorbankan agar hal itu dapat tercapai. Memiliki pinjaman itu rasanya tidak enak dan hingga akhirnya saya selalu berusaha menghindarinya.

Meminjam uang untuk alasan yang masuk akal

Dengan meminjam uang atau sesuatu berarti kita wajib mengembalikannya sesuai dengan kesepakatan. 

Saat meminjam, jarang disadari bahwa  sebenarnya kita juga sedang menggadaikan kepercayaan. Kegagalan mengembalikan pinjaman dapat menyebabkan kepercayaan orang pada kita jadi rusak. 

Apakah berutang sungguh-sungguh harus kita jauhi?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, kita perlu lihat dahulu alasan utama untuk melakukannya.

Ada 2 alasan secara garis besar: butuh untuk keperluan hidup yang esensial, dan butuh untuk mengembangkan atau memulai usaha.

Untuk alasan yang pertama jika memang perlu dan harus dilakukan maka lakukanlah, misalnya saat kita tertimpa musibah. Tetapi ketika sudah mampu mengembalikan,  bayarlah pinjaman itu pada kesempatan pertama kita bisa  melakukannya.

Membayar pinjaman sesegera mungkin adalah bentuk pertama membalas kebaikan orang yang telah menolong kita.

Berutang untuk memulai atau mengembangkan usaha juga hal yang lazim. 

Pada umumnya, meminjam uang teman atau saudara lebih menyenangkan karena biasanya tidak perlu ada jasa/ bunga; sehingga ada istilah 'uang dingin'. Pembayarannya juga sesuka hati. Tapi sebaiknya kita tidak boleh membiarkan anggapan itu ada bahkan sejak dalam pikiran.

Utang adalah utang yang harus dibayar, kepada siapapun: teman, saudara, anak, orang tua! Kita tidak sungguh-sungguh tahu apakah mereka sedang sangat membutuhkan uang atau tidak pada saat kita terlena menunda-nunda untuk mengembalikannya. 

Ada orang yang di permukaan baik-baik saja padahal sebenarnya merasa dongkol gara-gara si peminjam tak kunjung sadar akan kewajibannya.

Pinjam uang ke bank atau fintech

Meminjam uang untuk usaha mungkin akan kita alami suatu saat.

Jika kita berniat atau sudah punya usaha, berutang kepada bank (umum atau syariah) lebih masuk akal daripada meminjam pada individu apalagi rentenir. 

Punya pengalaman lancar melunasi pinjaman ke bank dapat menjadi aset yang berharga bagi seorang pebisnis. Kredibilitas.

Agar kredibilitas usaha dapat diraih, lebih baik lakukan pinjaman seawal mungkin ketika yakin mampu melunasi sekalipun uangnya tidak kita butuhkan. Tinggal pilih bank dengan suku bunga terendah dan memberi berbagai keringanan lain. 

Pemerintah juga punya program pinjaman modal untuk UKM/ UMKM yang didistribusikan lewat bank yang ditunjuk. Program tersebut rata-rata memberi banyak fasilitas kemudahan.

Mengapa perlu lebih awal pinjam ke bank ketika justru tidak sedang terlalu butuh?

Alasannya adalah agar kita dapat mengenal dan beradaptasi dengan prosedur atau mekanisme keuangan perbankan. 

Untuk menjadi nasabah, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi dan sederet aturan yang wajib ditaati. 

Sebagai contoh soal besaran nilai pinjaman.  Kepada peminjam pemula bank tidak akan memberikan pinjaman dalam jumlah besar. Biasanya  hanya sekitar 3-5 juta atau mungkin 10 juta. Setelah pengembalian lancar barulah bank membuka penawaran untuk top-up pinjaman secara bertahap.

Seiring dengan perkembangan usaha, suatu ketika mungkin kita terdesak butuh dana dalam jumlah besar. 

Ketika itu terjadi dan datang ke kantor bank, mereka tidak peduli siapa kita kecuali satu hal: kredibilitas. 

Andai sebelumnya kita tidak pernah pinjam maka kita akan diperlakukan sebagai peminjam pemula. Bank akan memberi perlakuan standar dan  pinjaman minimal yang mungkin jauh di bawah jumlah uang yang kita butuhkan. Itu pun setelah syarat-syarat dipenuhi, yang perlu cukup waktu untuk menyelesaikannya.

Jika bank tidak dapat membantu sementara kita sedang terdesak maka ujung-ujungnya jatuhlah pilihan pada rentenir. 

Inilah titik awal bencana keuangan yang mematikan. Debt collector yang mereka miliki sudah melucuti semua rasa belas kasihan yang ada. Jangan pernah berurusan dengan orang-orang seperti ini. Siapapun bisa kehilangan martabat dan jatuh miskin dalam sesaat tanpa sempat menyadarinya.

Di zaman serba digital seperti saat ini, urusan utang juga sudah jadi modern.

Ada tawaran-tawaran pinjaman digital dari fintech (aplikasi financial technology) yang membuka pintu selebar-lebarnya pada calon peminjam. Bahasanya sangat menarik dan menggiurkan. Yang harus kita sadari sejak awal saat berurusan dengan fintech ini adalah soal  s.k.b! Syarat dan ketentuan berlaku. 

Syarat-syarat dan ketentuan yang mengikat itu dipersiapkan dan disusun sedemikian rupa oleh pemilik fintech agar tidak membahayakan pihak mereka, baik dari segi finansial maupun hukum. Sebaliknya, aturan yang dibuat secara sistematis  menggiring keuntungan  buat mereka dengan cara memperdaya ketidaktahuan si korban: para peminjam uang lewat aplikasi fintech itu.

Pemerintah, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan,  tidak selalu dapat mengawasi dan mengendalikan lembaga-lembaga finansial tersebut. Lebih baik kita yang menjaga diri sendiri untuk waspada, mengatur keuangan sebijak mungkin, mengendalikan keinginan dan hasrat konsumtif sewajarnya.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun