Yang taat beribadah belum tentu mampu menjaga kepercayaan dalam soal uang. Orang yang tidak beres dalam hubungannya dengan Tuhan justru mungkin sangat ketat dalam memegang prinsip-prinsip keuangan yang baik dan dapat dipercaya.
Ada  pula satu kesimpulan berharga bagi saya: uang yang sesungguhnya milik kita itu adalah uang yang secara real dapat kita kendalikan.Â
Uang dalam bentuk piutang atau apalagi yang masih dalam bentuk "asumsi" keuntungan jangan pernah diyakini 100% adanya. Fifty fifty aja, itu lebih realistis ketimbang nanti kecewa berat akibat pehape.
Ketika memberi pinjaman pada siapapun, dalam bentuk pinjaman murni atau penyertaan modal, bersiaplah menerima kenyataan paling pahit: uang tidak kembali sepeser pun.
Bagi saya sendiri dalam posisi sebagai pengutang, kewajiban membayar selalu diusahakan agar dapat ditunaikan sesegera mungkin. Konsekuensinya, banyak hal harus dikorbankan agar hal itu dapat tercapai. Memiliki pinjaman itu rasanya tidak enak dan hingga akhirnya saya selalu berusaha menghindarinya.
Meminjam uang untuk alasan yang masuk akal
Dengan meminjam uang atau sesuatu berarti kita wajib mengembalikannya sesuai dengan kesepakatan.Â
Saat meminjam, jarang disadari bahwa  sebenarnya kita juga sedang menggadaikan kepercayaan. Kegagalan mengembalikan pinjaman dapat menyebabkan kepercayaan orang pada kita jadi rusak.Â
Apakah berutang sungguh-sungguh harus kita jauhi?
Sebelum menjawab pertanyaan itu, kita perlu lihat dahulu alasan utama untuk melakukannya.
Ada 2 alasan secara garis besar: butuh untuk keperluan hidup yang esensial, dan butuh untuk mengembangkan atau memulai usaha.