Mohon tunggu...
Agung MSG
Agung MSG Mohon Tunggu... Wiraswasta - Insan Pembelajar

Insan Pembelajar yang senang mempelajari bidang Personal Development dan Operasional Management, serta penulis buku: Be A Rich Man (Pustaka Hidayah, 2004), Retail Risk Management in Detail (IMan, 2010), dan The Prophet Natural Curative Secret – Divinely, Scientifically and Naturally Tested and Proven (Nas Media Pustaka, 2022). Aktif mengajar di Komunitas E-Flock Indonesia di Indonesia, serta memberikan pelatihan online di Arab Saudi, Ghana, Kamboja, Qatar, dan Thailand. Agung juga dikenal sebagai penulis lepas di berbagai majalah internal perusahaan, blogger di Medium.com, dan penulis aktif di Kompasiana.com. Saat ini aktif memberikan pelatihan di berbagai asosiasi bisnis, kementerian, universitas, sekolah, hingga perusahaan publik di berbagai kesempatan, Agung MSG mengusung filosofi hidup untuk mengasihi, menyayangi, berbagi, dan berkarya mulia. @agungmsg #haiedumain email: agungmsg@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kepatutan dalam Kekuasaan: Memahami Fenomena Korupsi, Flexing, dan Permintaan THR oleh Pejabat Negara dan Keluarga Mereka

16 April 2023   06:08 Diperbarui: 16 April 2023   06:09 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kepatutan adalah prinsip penting dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam kekuasaan. Ketika prinsip ini dilanggar, dapat mengakibatkan ketidakadilan, ketidakmerataan, dan ketidakpercayaan terhadap sistem pemerintahan"

Beberapa kasus terbaru menarik perhatian salah satu teman di sebuah grup kecil medsos. Mulai dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) Bupati Meranti, OTT Balai Perkeretaapian DJKA Kemenhub Jateng dan OTT Wali kota Bandung.

Flexing oleh pejabat negara dan keluarga mereka, hingga permintaan Tunjangan Hari Raya (THR) oleh seorang oknum RT, Badan Pengelola Pasar di Bogor, Lurah di Kabupaten Batang, Pejabat BNN Kota Tasikmalaya, dan "sedekah sarung" oleh anggota DPR.

Dengan kekuasaan dan wewenang yang dimiliki oleh pejabat, dia pun mempertanyakan fenomena ini dengan pertanyaan sederhana, "Apakah ukuran kepatutan sudah berubah ?"

Diskusi kemudian berlanjut, dan kita sebagai warga negara yang mencintai negara ini, kita merasa sangat prihatin melihat fenomena ini.

Masalah Kepantasan atau Kepatutan : Pentingnya Mengelola Risiko

Kepatutan, kini jadi masalah serius. Kepatutan adalah prinsip penting dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk di dalam dunia kekuasaan. Prinsip ini mengatur perilaku, tindakan, dan keputusan yang dilakukan oleh para pejabat negara dan keluarga mereka. Namun, seringkali terjadi pelanggaran terhadap prinsip ini seperti korupsi, flexing, dan permintaan THR.

Pelanggaran prinsip kepatutan dalam kekuasaan dapat berdampak buruk bagi masyarakat. Hal ini dapat menyebabkan ketidakadilan, ketidakmerataan, dan ketidakpercayaan pada sistem pemerintahan. Oleh karena itu, penting untuk memahami fenomena ini dan mencari solusi untuk mengatasinya.

Penulisan ini bertujuan untuk memperkenalkan konsep kepatutan dalam kekuasaan dan membahas fenomena korupsi, flexing, dan permintaan THR oleh pejabat negara dan keluarga mereka. Selain itu, penulisan ini juga membahas analisis risk management dalam konteks kepatutan untuk mengurangi risiko pelanggaran terhadap prinsip ini.

Prinsip Kepatutan dalam Konteks Kekuasaan: Definisi, Ukuran, dan Perubahan

"Kepatutan" atau perilaku yang sesuai dengan nilai dan norma di masyarakat adalah prinsip penting dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam kekuasaan. Prinsip ini menyangkut perilaku, tindakan, dan keputusan yang dilakukan oleh para pejabat negara dan keluarga mereka.

Ketika prinsip ini dilanggar oleh para pejabat negara, seperti korupsi, flexing, dan permintaan THR, dapat mengakibatkan ketidakadilan, ketidakmerataan, dan ketidakpercayaan terhadap sistem pemerintahan. Oleh karena itu, penting untuk memahami konsep kepantasan dan mencari solusi untuk mengurangi risiko pelanggaran terhadap prinsip ini.

Para pejabat negara harus selalu memprioritaskan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi. Beberapa ukuran kepatutan yang bisa digunakan sebagai panduan bagi para pejabat negara dan keluarga mereka, seperti integritas, transparansi, akuntabilitas, dan keadilan.

Namun, ukuran kepatutan bisa berbeda-beda tergantung pada konteks dan budaya. Oleh karena itu, para pejabat negara dan keluarga mereka harus selalu memperbarui pengetahuan mereka tentang prinsip kepatutan dalam praktek kekuasaan dan mematuhi nilai dan norma di masyarakat.

"Etika Kepatutan" Dalam Konteks Kekuasaan: Mengedepankan Integritas, Transparansi, dan Akuntabilitas dalam Pemerintahan

Dalam kehidupan bermasyarakat, "Etika Kepatutan" adalah tentang perilaku yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku. Di dalam pemerintahan, Etika Kepatutan terkait dengan perilaku pejabat negara dan keluarga mereka dalam menggunakan kekuasaan.

Etika Kepatutan Sosial berkaitan dengan integritas, transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam penggunaan kekuasaan oleh para pejabat negara dan keluarga mereka. Prinsip-prinsip ini harus selalu diutamakan untuk kepentingan masyarakat.

Pentingnya Uji Kelayakan dan Kepatutan Calon Pimpinan untuk memastikan karakter, integritas, dan moralitas yang tepat dalam memimpin suatu organisasi atau lembaga. Calon pimpinan yang bermasalah saat fit and proper, cenderung juga jadi bagian masalah saat ia terpilih dan menjabat.

Penting juga untuk mengukur kepatutan dalam kepemilikan harta kekayaan oleh para pejabat negara dan keluarga mereka dengan transparansi dan akuntabilitas. Hal ini mencegah tindakan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Tindakan korupsi, flexing, dan permintaan THR oleh pejabat negara dan keluarga mereka merupakan contoh dari ketidakpatuhan terhadap Etika Kepatutan dalam penggunaan kekuasaan. 

Oleh karena itu, para pejabat negara dan keluarga mereka harus selalu mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi. Mereka juga harus memperbaharui pengetahuan dan keterampilan dalam memahami dan mengaplikasikan prinsip Etika Kepatutan dalam praktek kekuasaan.

Korupsi: Ancaman Serius bagi Kepentingan Umum dan Faktor Penyebabnya

Korupsi adalah ketika seseorang memanfaatkan kekuasaan atau jabatannya untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau kelompok tertentu secara tidak sah. Tindakan ini sangat merugikan kepentingan umum. Korupsi bisa melibatkan penerimaan atau pemberian uang, barang, atau jasa oleh seseorang yang memegang kekuasaan publik atau swasta.

Beberapa faktor yang menyebabkan korupsi, seperti sistem politik yang tidak transparan dan lemah, kurangnya penegakan hukum dan pengawasan, kondisi ekonomi yang buruk, budaya masyarakat yang menerima korupsi, keterlibatan sektor swasta, rendahnya integritas dan moralitas pejabat, adanya kesempatan dan insentif untuk melakukan korupsi.

Dampak korupsi sangat merugikan masyarakat dan negara, seperti kerugian finansial, ketidakadilan, menurunnya kualitas pelayanan publik, menurunnya daya saing, merusak tatanan politik, merusak tata kelola pemerintahan, dan menghambat pembangunan ekonomi negara.

Untuk mengatasi masalah korupsi, pencegahan dan penindakan korupsi perlu dilakukan secara tegas dan berkelanjutan. Pembangunan ekonomi melalui pendidikan dan adanya kelas menengah juga penting untuk mengurangi korupsi. Selain itu, sistem politik yang transparan dan efektif, penegakan hukum yang kuat, pengawasan yang ketat, dan budaya yang menolak korupsi juga harus ditingkatkan.

"Flexing": Fenomena Pamerria dan Menunjukkan Kekayaan di Media Sosial Bisa Berisiko

"Flexing" atau memamerkan kekayaan di media sosial semakin marak terjadi. Ini bisa berdampak negatif pada masyarakat, terutama jika dilakukan oleh pejabat atau orang yang berkuasa. Orang memamerkan kekayaan untuk menunjukkan status sosial, mencari perhatian, dan merasa lebih baik dari orang lain. Kebudayaan yang menghargai kepemilikan benda material juga menjadi penyebab.

Dampak flexing bisa berupa tekanan sosial dan konsumtif yang lebih tinggi, merusak nilai-nilai sosial, serta memicu tindakan kriminal seperti pencurian dan perampokan. Flexing juga bisa memperburuk kesenjangan sosial dan ekonomi yang sudah ada, serta menciptakan ketidakadilan yang lebih besar di masyarakat.

Kita harus sadar dan mengendalikan diri dalam menggunakan media sosial. Kita juga perlu menegakkan nilai-nilai integritas dan kesederhanaan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam perspektif manajemen risiko, flexing perlu diwaspadai sebagai potensi risiko yang bisa merusak citra dan kredibilitas individu atau lembaga yang melakukan fleking.

Untuk mengurangi risiko dan dampak negatif dari fenomena flexing, kita perlu melakukan pencegahan dan pengendalian yang tepat. Ini bisa dilakukan dengan mengedukasi masyarakat tentang bahaya flexing, menegakkan hukum bagi pelaku flexing yang melanggar aturan, serta membangun budaya kesederhanaan dan nilai-nilai sosial yang positif. Dengan begitu, kita bisa mengurangi risiko dan dampak negatif dari fenomena flexing dalam kehidupan masyarakat.

Permintaan THR oleh Pejabat Negara: Fenomena Korupsi yang Merusak Tata Kelola Pemerintahan

Permintaan THR oleh pejabat negara di Indonesia adalah hal yang umum terjadi. Meskipun status sosial dan ekonomi mereka mapan, mereka masih meminta THR setiap tahun. Namun, permintaan THR oleh pejabat negara seringkali terjadi karena praktik korupsi yang merajalela di Indonesia. 

Para pejabat negara yang meminta THR memanfaatkan posisi mereka untuk meminta uang atau barang sebagai imbalan atas kebijakan atau jasa yang mereka berikan. Selain itu, mereka juga bisa meminta THR karena adanya hubungan dekat dengan pengusaha atau masyarakat.

Ada banyak alasan mengapa pejabat negara atau anggota dewan meminta THR dari pengusaha, masyarakat, atau pimpinan BUMN. Namun, perlu diingat bahwa permintaan tersebut tidak dibenarkan dan bisa merugikan negara dan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah melarang ASN dan anggota dewan untuk meminta dana atau bingkisan Lebaran kepada siapapun menjelang Hari Raya.

Dampak negatif dari permintaan THR oleh pejabat negara adalah meningkatkan citra negatif mereka dan menciptakan ketidakadilan dalam distribusi sumber daya. Praktik korupsi yang merajalela juga merusak tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih karena permintaan THR dapat mempengaruhi kebijakan atau jasa yang diberikan oleh pejabat negara atau anggota dewan. 

Oleh karena itu, pejabat negara dan anggota dewan harus menjaga integritas dan profesionalisme dalam menjalankan tugas mereka serta tidak melakukan permintaan THR yang merugikan negara dan masyarakat.

Menghindari Korupsi dan Tindakan Tidak Etis dalam Kekuasaan melalui Manajemen Risiko Kepatutan

Penting untuk menjaga kepatutan dalam kekuasaan untuk mencegah terjadinya korupsi, flexing, dan permintaan THR oleh pejabat negara dan keluarga mereka. Manajemen risiko kepatutan adalah cara untuk mengurangi risiko pelanggaran kepatutan dalam kekuasaan.

Cara pertama adalah dengan menjaga kepatutan sebagai bentuk pengelolaan risiko. Cara kedua adalah dengan melakukan analisis risiko terus-menerus terkait kepatutan, mencakup identifikasi risiko dan dampaknya, serta upaya pencegahan dan penanganannya. 

Cara ketiga adalah dengan mengambil pendekatan kepatutan yang melibatkan pemahaman dan penghormatan terhadap nilai-nilai etika dan moral.

Manajemen risiko kepatutan dapat dilakukan dengan mengembangkan kebijakan dan prosedur yang jelas dan transparan, memperkuat pengawasan dan akuntabilitas, serta meningkatkan kesadaran dan pelatihan terkait kepatutan bagi pejabat negara dan masyarakat. 

Dengan demikian, manajemen risiko kepatutan dapat membantu mencegah pelanggaran kepatutan dan memperkuat integritas dan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Dalam kesimpulannya, manajemen risiko kepatutan yang efektif dapat membantu mencegah korupsi dan tindakan-tindakan tidak etis dalam kekuasaan. Dengan mengambil pendekatan kepatutan, para pejabat negara dapat meminimalkan risiko terkait tindakan yang tidak etis atau ilegal, serta membangun kepercayaan publik dan kepatuhan terhadap hukum. 

Analisis risiko terkait kepatutan dalam kekuasaan dapat dilakukan dengan cara mengurangi risiko melalui pendekatan kepatutan, dengan menjaga kepatutan sebagai bentuk pengelolaan risiko.

Ukuran Kepatutan dalam Berbagai Konteks: Pengertian, Faktor yang Mempengaruhi, dan Praktiknya dalam Organisasi dan Profesi

Ukuran kepatutan artinya kita melakukan tindakan yang sesuai dengan norma-norma dan etika yang berlaku di masyarakat. Tindakan tersebut juga harus wajar dan sesuai dengan situasi atau kondisi yang ada.

Di berbagai konteks, ukuran kepatutan bisa berbeda-beda tergantung pada nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat atau lembaga yang terlibat. Beberapa faktor yang mempengaruhi ukuran kepatutan antara lain budaya, agama, dan konteks sosial.

Budaya dan tradisi mempengaruhi norma kepatutan di masyarakat. Misalnya, di budaya Barat dianggap baik untuk menunjukkan pendapat secara terbuka, sedangkan di budaya Timur menghargai sopan santun dan menghormati orang lain.

Keyakinan agama juga mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kepatutan. Misalnya, di beberapa agama seperti Islam dan Hindu, ada pakaian yang dianggap lebih patut dan sesuai dengan nilai-nilai keagamaan.

Konteks sosial juga mempengaruhi norma kepatutan. Misalnya, cara berpakaian yang sesuai dalam situasi formal berbeda dengan cara berpakaian yang sesuai dalam situasi santai seperti di pantai.

Dalam organisasi atau profesi tertentu, ukuran kepatutan diatur oleh peraturan dan etika yang berlaku. Contohnya, seorang dokter atau pengacara memiliki kode etik yang mengatur perilaku mereka dalam menjalankan tugas profesionalnya.

Kesimpulan : Ringkasan Temuan, Implikasi dan Saran, dan Refleksi Penulis

Kepatutan dalam kekuasaan merupakan isu serius yang mempengaruhi perilaku, tindakan, dan keputusan para pejabat negara dan keluarga mereka. Pelanggaran terhadap prinsip kepatutan dapat mengakibatkan ketidakadilan, ketidakmerataan, dan ketidakpercayaan pada sistem pemerintahan.

Oleh karena itu, penting untuk memahami konsep kepantasan dan mencari solusi untuk mengurangi risiko pelanggaran terhadap prinsip ini. Beberapa ukuran kepatutan seperti integritas, transparansi, akuntabilitas, dan keadilan bisa digunakan sebagai panduan bagi para pejabat negara dan keluarga mereka. Namun, ukuran kepatutan bisa berbeda-beda tergantung pada konteks dan budaya.

Para pejabat negara dan keluarga mereka harus selalu memprioritaskan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran para pejabat negara dan keluarga mereka tentang prinsip kepatutan dan risiko pelanggarannya. 

Selain itu, perlu ada sistem pengawasan dan pengendalian yang lebih ketat untuk mencegah pelanggaran terhadap prinsip kepatutan. Hal ini dapat dilakukan melalui penerapan Etika Kepatutan Sosial dan Risk Management dalam pemerintahan.

Penulis menyadari bahwa isu kepatutan dalam kekuasaan merupakan isu yang kompleks dan tidak mudah diatasi. Namun, dengan meningkatkan pemahaman dan kesadaran serta adanya sistem pengawasan dan pengendalian yang lebih ketat, diharapkan dapat mengurangi risiko pelanggaran terhadap prinsip kepatutan dalam pemerintahan. 

Penulis juga berharap bahwa tulisan ini dapat menjadi sumbangan dalam memperkuat prinsip kepatutan dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam pemerintahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun