Tax treaty atau perjanjian perpajakan adalah suatu perjanjian formal yang dibuat antara dua negara atau lebih dengan tujuan untuk mengatur dan mengkoordinasikan aspek - aspek perpajakan yang terkait dengan transaksi lintas batas antar negara. Tax treaty adalah perjanjian bilateral yang dibentuk oleh dua negara atau yurisdiksi yang bertujuan untuk menghilangkan pajak berganda akibat transaksi lintas batas negara. Pajak berganda dapat timbul karena adanya saling klaim hak perpajakan antara negara sumber penghasilan dan negara tempat tinggal wajib pajak yang bersangkutan (Chandrasari, 2021). Tujuan utama dari tax treaty adalah untuk menciptakan kepastian hukum dalam hal perpajakan bagi warga negara dan perusahaan yang terlibat dalam bisnis lintas batas. Adapun perjanjian perpajakan biasanya mencakup beberapa hal berupa penghindaran pajak berganda, penentuan tarif pajak atas transaksi internasional, proteksi atas diskriminasi,serta penyelesaian sengketa atas pajak internasional yang terjadi.
Pemerintah Indonesia juga secara jelas mengatur mengenai tax treaty ayyang dilakukan antara Indonesia dengan negara mitra. Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-52/PJ/2021 Tentang Petunjuk Umum Interpretasi dan Penerapan Ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, dijelaskan bahwa implementasi tax treaty di Indonesia pada umumnya merujuk pada dua model perjanjian perpajakan utama, yakni Model Konvensi Pajak OECD (OECD Model Tax Convention) dan Model Persetujuan Ganda antara Negara Berkembang dan Negara Maju Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN Model Double Convention between Developed and Developing Countries). Meskipun begitu, Pemerintah Indonesia dan negara mitra juga dapat sepakat untuk menciptakan ketentuan atau peraturan yang berbeda dari kedua model P3B utama tersebut, sesuai dengan posisi dan kepentingan nasional masing-masing negara dalam perjanjian ini.
Sejalan dengan penjelasan pasal 32A Undang - Undang Pajak Penghasilan, tax treaty mengatur hal pemungutan pajak masing - masing negara pihak dalam perjanjian yang bersifat khusus (lex specialis). Dengan demikian, dalam implementasi perjanjian perpajakan, tahap awalnya adalah penerapan ketentuan yang terdapat dalan Undang - Undang Pajak Penghasilan Indonesia. Setelah penerapan ketentuan yang terdapat dalam Undang - Undang Pajak penghasilan terhadap pembatasan (mengenai pihak yang berhak memajaki, tarif pajak, dan hal lain sebagainya) yang dijelaskan dalam tax treaty, maka Undang - Undang Pajak penghasilan diterapkan dengan mempertimbangkan pembatasan atas tax treaty tersebut. Jika tidak ada pembatasan yang dijelaskan dalam tax treaty, maka Undang - Undang Pajak Penghasilan diterapkan secara menyeluruh atas kegiatan bisnis atau transaksi bisnis yang terjadi.
Pada hakikatnya, tax treaty berfungsi untuk mengatur ketentuan perpajakan internasional guna menciptakan tata kelola perpajakan internasional yang memberikan kepastian hukum. Selain menciptakan tata kelola perpajakan internasional yang memberikan kepastian hukum, tax treaty juga mengatur ketentuan - ketentuan khusus diantaranya ketentuan mengenai Non – discrimination (non – diskriminasi), Mutual Agreement Procedure (prosedur kesepakatan bersama), Exchange of Information (pertukaran informasi), Assistance in the Collection of Taxes (bantuan dalam pengumpulan pajak), dan Members of Diplomatic Missions and Consular Posts (Anggota Misi Diplomatik dan Pos Konsuler). Hal tersebut memberikan makna bahwa tax treaty secara umum mengatur aspek – aspek agar pemajakan yang dilakukan dapat dilaksanakan secara adil dengan kepastian hukum yang definitif. Dengan mempertimbangkan fakta tersebut, dapat dikatakan bahwa ketidaksesuaian atau misinterpretasi dalam memahami isi kontekstual aturan perpajakan di suatu negara menjadi tanggung jawab wajib pajak di negara tersebut.
Wajib Pajak memiliki kewajiban untuk melaporkan pajaknya dengan benar sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Dengan beberapa kriteria tertentu, fiskus dapat melakukan pemeriksaan pajak. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik indonesia Nomor 545/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiba perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang - undangan perpajakan. Tujuan dari pemeriksaan pajak tentu adalah untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan, dan pembinaan kepada wajib pajak.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kirchler et al., (2008), kepatuhan pajak dapat ditegakkan dengan menggunakan kekuasaan otoritas terhadap wajib pajak. Dalam situasi ini, pihak berwenang pajak memiliki kemampuan untuk melakukan pemeriksaan pajak. Melakukan pemeriksaan pajak akan mengakibatkan dampak - dampak yang berujun pada ketidaknyamanan bagi wajib pajak. Dampak tersebut termasuk memberlakukan sanksi terhadap  wajib pajak yang melanggar aturan, baik melalui pemberian peringatan resmi maupun tindakan penegakan hukum.
Dengan merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pada Bagian Keempat dijelaskan mengenai Tata Cara Pemeriksaan. Adapun pada pasal 105 dijelaskan bahwa terdapat 10 kriteria pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, yaitu:
1. Wajib pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang - Undang KUP;
2. Terdapat data konkret yang menyebabkan pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
3. Wajib pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar, selain yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada poin 1;