Kakak perempuannya yang berjarak lima tahun sudah lulus dari universitas ternama. Kakaknya itu mengambil jurusan ekonomi dan lulus dengan predikat sempurna. Dua tahun setelah lulus, kakaknya menikah dengan anak seorang konglomerat di kotanya. Pernikahan politik, kata Hamza menceritakan padaku.
Ia sempat menghadiri wisuda kakaknya. Namun, saat kakaknya menikah, Hamza sudah memutuskan menghilang sehingga ia pun tak menghadiri resepsi itu. Alasannya, ia tidak suka dengan perjodohan politik yang sedang dibangun ayahnya.
Ia juga menceritakan padaku bahwa berkali-kali ia mencoba membujuk kakaknya untuk menolak. Sayang, kakaknya tidak punya bakat memberontak. Bahkan, menyalahkan Hamza karena menghasut untuk melawan orang tua. "Bagi kakakku, semua yang dilakukan orang tuaku merupakan yang terbaik bagi anak-anaknya," ceritanya suatu kali.
Tapi, Hamza mengetahui, lebih tepatnya merasakan apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang dilakukan ayahnya hanya demi ambisi politik. Tidak lebih. Sementara, kakaknya tidak bisa melihat dan merasakan. Ia rela dijodohkan dan meninggalkan pekerjaan di dunia ekonomi demi ambisi politik ayahnya.
Ia dan saudara kembarnya sebenarnya disiapkan sebagai penerus dinasti politik. Hamza dan adiknya diminta untuk masuk ke sekolah tinggi pamong praja. Tujuannya, agar mereka bisa lebih mudah masuk ke pemerintahan. Dengan begitu, keluarganya tetap bisa melanggengkan kekuasaan.
Hamza tau. Ia memilih tak mengikuti. Sementara, adiknya mengikuti dan lulus---Baru-baru ini, aku sempat mendengar bahwa adiknya telah menduduki jabatan penting sebagai sekretaris daerah.
Hamza lalu disekolahkan di jurusan hukum. Kata Hamza, ini juga demi kepentingan ayahnya. Sekolah hukum akan mengamankan keluarganya bila terjadi sesuatu di kemudian hari. Begitulah yang ia rasakan.
Ia sebenarnya enggan. Namun, ia berbalik. Ia mau menerima asal ia disekolahkan di Ibu Kota. Bukan di kampung halamannya. Ayahnya menyetujui. Hanya setahun Hamza bersekolah, lalu ia memutuskan untuk meninggalkan semua ikatannya.
Suatu kali aku sempat menanyakan mengapa ia begitu membenci ayahnya. Mendengar pertanyaanku, ia terdiam barang beberapa detik. Ia kembali mengambil buku Hikayat Amir Hamzah. Hanya dibuka-buka saja.
"Sejak kecil, aku mengetahui rahasia yang tak diketahui dua saudaraku. Ini rasanya menyakitkan," ia berhenti sebentar. "Bahkan setelah itu, setiap malam, saat ibuku mendongengkan Hikayat Amir Hamzah, aku tak lagi terpukau dengan kisah petualangan. Aku pura-pura tidur agar ibuku menyelesaikan dongengannya. Aku tahu, ibuku sedang menangis dalam hati. Aku bisa merasakannya bahkan ketika ia hendak membuka dongengannya itu."
***