Aku terdiam.
"Toh, aku merasa aku takkan bisa melakukan apa-apa dengan ilmu hukum bila nantinya aku lulus. Buat apa melanjutkan," katanya. Ia membuat jeda. Mengambil satu buku. Seakan-akan membaca, namun tetap ingin berbincang.
"Aku lebih suka hidup seperti ini. Bekerja di perpustakaan. Dengan begitu aku bisa membantu mereka yang membutuhkan bacaan. Aku juga bisa membaca sesuka hati. Tak perlu memikirkan yang berat-berat. Hidup sudah terlalu berat," imbuhnya.
"Tapi, bacaanmu berat," kataku.
"Tidak juga. Itu karena aku sudah lama bekerja di perpustakaan. Apalagi, perpustakaan itu memang khusus mengoleksi buku sastra. Jadi, ya, ikut-ikutan baca." Ia menutup buku yang ia ambil. Lalu menjelaskan kenapa menyukai buku itu.
"Nah, kalau buku ini beda," ujarnya sambil menyodorkan buku Hikayat Amir Hamzah yang sangat tebal. "Buku itu selalu mengingatkan pada ibuku. Kebanyakan dongeng tidur yang ia ceritakan dari buku itu."
Hamza mendekatkan asbak, mengambil rokok mild dan korek, lalu menyalakan. Ia mengisap pelan-pelan. Mengembuskan pelan-pelan. Asap membumbung dan menyebar.
"Kau tidak rindu ibumu?"Â tanyaku.
Hening. Kipas angin kecil segera menyapu asap-asap itu.
***
ADA SESUATU yang agak berat, yang terpendam dalam benak Hamza. Bagiku, apa yang ia ucapkan seperti lari dari sesuatu. Semacam masalah yang cukup berat dan karena itulah ia memilih meninggalkan segalanya. Termasuk dengan ikatan masa lalu.