Aku seperti bercermin dengan diriku.
Ruang-ruang masa lalu sempat menyeretku ke dalam lubang hitam yang menganga. Menyedot hingga tubuhku berasa tak bertulang, melar, dan terkadang menjadi cairan. Bahkan hingga saat ini, aku masih merasakan kengiluan.
Aku meninggalkan tugas akhirku. Hampir dua tahun. Aku menghilang. Meninggalkan semua yang menempel dalam diriku. Orang tua, perkuliahan, dan sebagainya dan sebagainya.
Yang ingin kulakukan hanya pergi sejauh mungkin dari masa lalu dan berharap bahwa hari itu tak pernah ada. Sayangnya, hari itu selalu ada dan tak pernah terhapus.
Dan bila aku mengingat masa itu, perasaan bersalah menghinggapi kepalaku. Suara-suara di kepalaku mulai menghakimi. Kenapa bisa begini, seandainya saja tidak begitu, ini semua karena kau tak becus, semua kesalahanmu, seharusnya kau yang berada di posisinya, dan lain-lain... Lalu, aku takkan bisa berbuat apa-apa, diam, dan mengutuk-ngutuki diri sendiri.
***
"TENTU SAJA aku rindu,"Â jawabnya. Ada perbedaan suara. Nadanya makin lirih.
"Ada alasan tertentu kenapa aku harus meninggalkan masa laluku. Aku membenci ayahku. Dan, aku tahu konsekuensi keputusan itu."
Asap kembali membumbung di ruangan 3 x 3. Kipas kembali menyapu asap-asap itu. Suara kipas angin sangat khas. Seperti lagu nina bobo yang mengantarkan siapa saja untuk tertidur.
***
SEBENARNYA, Hamza cukup mampu untuk menyewa kamar yang lebih baik dari kamarnya itu. Ia adalah anak seorang politikus dari partai yang sedang berkuasa di kampung halamannya. Kebetulan, ayahnya juga merupakan seorang bupati berkuasa.