ITULAH TERAKHIR kali kami berbicara panjang lebar. Hari berikutnya, ia tidak berangkat bekerja. Ibu kepala yayasan bilang, Hamza mengundurkan diri. Ia ingin kembali ke kampung halamannya. Tapi, aku tidak yakin. Aku mencoba menelepon, tapi nomor ponselnya sudah tak lagi aktif.
"Ia menitipkan sesuatu untukmu." Ibu kepala yayasan mengambil satu buku. Tipis, cetakan lama, dengan sampul yang sudah hampir pudar.
Aku pernah melihat buku itu di kamarnya. Di antara tumpukan tiga buku tebal yang ia sukai. Ia pun pernah berseloroh tentang buku ini.
"Saat aku mencari buku Hikayat Amir Hamzah di kios buku bekas, aku malah menemukan buku ini. Cetakan kedua, 1946. Tahun yang sama ketika sang pengarangnya dikabarkan menghilang dan ditemukan meninggal dua tahun berikutnya. Dan, anehnya lagi, aku membeli buku ini tepat satu abad lebih satu tahun usia sang pengarang. Kebetulan yang aneh," katanya suatu kali.
"Biasanya, kebetulan yang aneh adalah sebuah pertanda," katanya lagi. "Kesunyian dalam puisi-puisi ini sangat mewakili diriku."
***
SAMPAI SEKARANG, aku tidak mengetahui di mana Hamza berada. Dan, aku tidak tahu kenapa ia memberikan buku itu kepadaku.
Secara kebetulan pula, buku itu pun kutemukan kembali di tumpukan-tumpukan gudang ketika aku hendak membereskan. Masih bagus, meski berdebu, pudar, dan beraroma lembab.
"Biasanya, kebetulan yang aneh adalah sebuah pertanda," kuulangi kata-katanya, sama persis seperti saat dia katakan sambil memegang buku itu.
Depok, 21-22 Agustus 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H