Hari demi hari berlalu diiringi senyum yang semakin melebar. Bukan hanya karena sayur seperti sawi, kangkung atau buah markisa yang akhirnya kami panen perdana hari itu atau karena kami menumbuhkannya secara organik, namun cerita-cerita kecil yang mengiringinya sembari berkebun membawa kehangatan yang memenuhi seisi rumah.
Awal Desember, meski masih dalam musim penghujan namun siang itu begitu terik di tempat kami. Saya sedang menumbuk rebung untuk fermentasi pupuk kembangan bagi tanaman mentimun, krai dan kecipir yang kami tanam. Di ruang tengah, Ibu sedang menyapu dan membersihkan sawang di tembok-tembok yang mulai nampak kusam dan retak itu.
Sembari menyapu, Ibu mencoba memecah hawa gerah dengan ingatannya atas masa kecil saya.
“Ngelihat rebung jadi inget kamu yang sempat bikin onar se kampung dulu,” kata Ibu membuka obrolan.
“Ohhh hahahaha... sudah lah Bu, aku sangat malu mengingatnya,” saya menimpali.
Cerita yang dimaksud Ibu adalah cerita saat musim panas tahun 2000 ketika saya dengan sembrononya membakar habis satu rumpun bambu atau yang lebih akrab kami sebut “barongan” dalam bahasa Jawa dan membuat panik hampir satu RT.
“Kamu ingat waktu api udah merambat ke atas barongan? Mas Nono yang lagi nyari kroto di sekitar situ langsung melompat ke sungai dan berusaha memadamkan api dengan disiram-siramin pake tangan.
Ibu saat itu takut. Bukan karena apinya sudah membesar, tapi khawatir kakinya Mas Nono kena beling,” cetus Ibu masih terheran-heran mengingat Mas Nono tetangga kami yang nekat melompat ke sungai dengan sendal jepitnya yang butut itu.
“Ibu bukan khawatir apinya tambah besar malah khawatir masalah itu,” Saya menanggapi.
“Hei, kalo nanti kena beling beneran terus tetanus gimana? Bisa mati tahu!” Jawab Ibu.