Jika ada do’a dan harapan yang tidak terkabul, mungkin itu adalah do’a dan harapan sebagian besar orang di penghujung tahun 2019 kemarin. Nampaknya 2020 sungguh tidak bersahabat dan saya enggan untuk berharap banyak pada 2021 yang akan kita lalui beberapa hari lagi.
Meski demikian, tak ubahnya seperti mengira bahwa semua sumur akan kering kerontang ketika musim panas berkepanjangan, padahal kita belum memeriksa dasar sumur yang gelap tersebut.
Ia tidak kering kerontang jika masih ada setetes air. Dan jika ada setetes air itu, saya masih berharap ia lah yang dapat membasuh jiwa yang terkuras habis tahun ini.
Saya adalah satu dari sekian juta orang di negara ini yang semakin sering mimpi buruk karena dihantui dengan kalimat “Besok akan makan apa?” atau “Apakah tabungan ini akan cukup untuk beberapa bulan?”
Terdengar berlebihan namun itu lah yang saya lalui sebagai orang yang bekerja di bidang jasa pariwisata. Mungkin kabar baiknya adalah, setidaknya saya dan mungkin jutaan orang lainnya sudah terbiasa hari-hari ini meski kadang hampir terpeleset ke jurang di tepian yang semakin licin ini.
Saya memutuskan pulang. Hal yang jauh dari mimpi seingat saya bagi seorang rantau yang masih bersikeras untuk teguh pada motto “Pantang pulang sebelum sukses!” Tidak sepenuhnya buruk atau mungkin sebaliknya. Hal-hal yang sebelumnya menjadi sebuah keistimewaan sekarang mewujud dalam keseharian seperti melihat Ibu.
Ada banyak hal berubah di luar pemahaman dan perkiraan kita terlebih dalam situasi seperti ini. Belum lagi di usia yang mengutuk Anda untuk sering-sering olahraga karena nyeri tulang belakang.
Di jedah panjang hari kerja sebagai serabutan, saya bersama Ibu menyibukkan diri untuk merawat tanah sepetak belakang rumah yang sekarang kami olah menjadi kebun. Lagi-lagi hal yang jauh dari perkiraan untuk saya lakukan.
“Yahh.. akhirnya bersih juga halaman belakang. Sebenernya Ibu pengen bersihin dari dulu, tapi Ibu takut banget sama ulat Le. Bukan karena gatelnya, tapi bulunya itu loh hiihh..,” ujar Ibu, sembari menggigil geli mengingat terakhir kali Ia bertemu dengan ulat.
“Mending ketemu atau dirambatin Ular atau Biawak deh, Ibu masih berani,” imbuhnya.
“Dari semua orang di kampung ini, sepertinya cuma Ibu yang nekat ngebandingin itu,” jawab saya.
Hari demi hari berlalu diiringi senyum yang semakin melebar. Bukan hanya karena sayur seperti sawi, kangkung atau buah markisa yang akhirnya kami panen perdana hari itu atau karena kami menumbuhkannya secara organik, namun cerita-cerita kecil yang mengiringinya sembari berkebun membawa kehangatan yang memenuhi seisi rumah.
Awal Desember, meski masih dalam musim penghujan namun siang itu begitu terik di tempat kami. Saya sedang menumbuk rebung untuk fermentasi pupuk kembangan bagi tanaman mentimun, krai dan kecipir yang kami tanam. Di ruang tengah, Ibu sedang menyapu dan membersihkan sawang di tembok-tembok yang mulai nampak kusam dan retak itu.
Sembari menyapu, Ibu mencoba memecah hawa gerah dengan ingatannya atas masa kecil saya.
“Ngelihat rebung jadi inget kamu yang sempat bikin onar se kampung dulu,” kata Ibu membuka obrolan.
“Ohhh hahahaha... sudah lah Bu, aku sangat malu mengingatnya,” saya menimpali.
Cerita yang dimaksud Ibu adalah cerita saat musim panas tahun 2000 ketika saya dengan sembrononya membakar habis satu rumpun bambu atau yang lebih akrab kami sebut “barongan” dalam bahasa Jawa dan membuat panik hampir satu RT.
“Kamu ingat waktu api udah merambat ke atas barongan? Mas Nono yang lagi nyari kroto di sekitar situ langsung melompat ke sungai dan berusaha memadamkan api dengan disiram-siramin pake tangan.
Ibu saat itu takut. Bukan karena apinya sudah membesar, tapi khawatir kakinya Mas Nono kena beling,” cetus Ibu masih terheran-heran mengingat Mas Nono tetangga kami yang nekat melompat ke sungai dengan sendal jepitnya yang butut itu.
“Ibu bukan khawatir apinya tambah besar malah khawatir masalah itu,” Saya menanggapi.
“Hei, kalo nanti kena beling beneran terus tetanus gimana? Bisa mati tahu!” Jawab Ibu.
“Ahhh.. memang bahaya kalo anak kecil bawa korek api sembarangan ya,” imbuhnya.
Entah ada angin apa siang itu. Alih-alih menanggapi atau melanjutkan cerita Ibu, pandangan saya tertuju pada tubuh lusuhnya yang sedang memegang sapu. Tersentak mengingat bahwa Ibu telah menginjak usia 61 tahun. Tak pernah terbayangkan kerja domestik yang biasa dilakukannya dengan senyum, sekarang nampak begitu berat dan menyiksa.
Malam yang sunyi di kampung mustinya membuat saya tidur lebih cepat tapi bukan malam itu. Saya yang seolah ditampar dengan tubuh Ibu yang semakin renta membuat diri ini mengutuk ribuan kali sebagai anak yang payah.
Saya benar-benar tak bisa tidur. Dihantam bertubi-tubi dengan pertanyaan “Apa yang musti saya lakukan?” Sembari masih terjaga, saya memeriksa notifikasi media sosial saya. Dan tiba-tiba muncul iklan di beranda Instagram yang mengiklankan sebuah perusahaan peralatan rumah tangga sedang memberikan giveaway akhir tahun.
Ada beberapa peralatan home living yang dihadiahkan bagi pemenang giveaway nantinya, namun mata saya tertuju pada vaccum cleaner. Tak menunggu lama, seketika saya langsung mengisi persyaratan untuk giveaway tersebut mengingat tenggat terakhir pengundian hanya tinggal 3 hari lagi.
Tak berharap banyak ketika melihat peserta mencapai angka ribuan. Ingin rasanya dengan sangat untuk mengajak Ibu membeli alat itu sendiri sembari mengajaknya jalan-jalan, namun kerja serabutan ini belum cukup memberi uang.
5 hari berselang. Saya tidak begitu kecewa mengingat kesempatan saya menang begitu kecil namun gundah di saat yang sama. Tak lama kemudian, tepat pukul 2 siang muncul notiikasi mention di akun instagram saya yang menyebutkan saya diantara 6 orang yang menang dalam undian tersebut.
Antara kaget, bingung, dan bertanya “Bukankah ini sudah 5 hari?”. Namun pertanyaan itu terjawab ketika saya membaca kembali keterangan caption yang menyebutkan bahwa pengundian dilakukan 2 hari setelah giveaway ditutup.
Saya memaklumi diri saya sendiri yang baru kali ini mengikuti undian. Sekitar satu jam kemudian saya dihubungi perusahaan produk penyelenggara melalui whatsapp untuk menyertakan alamat lengkap rumah demi pengiriman hadiah. Saya berteriak girang dan berlari menuju Ibu.
“Bu, Aku ikut undian. Hadiahnya penyedot debu, dan menang!!” ujar saya mengabari Ibu dengan raut wajah yang kekanak-kanakan.
“Wahhh.. Ketempelan apa anak Ibu sampe beruntung banget ini hah?,” jawabnya diiringi tawa.
“Jadi nanti Ibu ga perlu capek-capek lagi kalo nyapu atau bersihin sawang di rumah terlebih kalo aku udah ga bisa bantu karena udah balik kerja. Sekarang tinggal tekan tombol ON, langsung sedot..,” Saya melanjutkan kabar kemenangan itu.
“Mending gak dapet hadiah itu asal kamu di sini aja deh hahaha,” sambung Ibu.
“Ahh Ibu ini,” jawab saya.
“Lagian pasti watt-nya besar itu, boros listrik nanti,” keluh Ibu saya yang mungkin lupa bahwa listrik kami disubsidi negara selama masa pandemi ini.
“Kan listriknya masih disubsisi sekarang Bu. Belum lagi ini mesin teknologi baru, jadi hemat listrik” jawab saya mencoba meyakinkan.
Minggu 13 Desember 2020 tepat setelah 3 hari berlalu. Estimasi saya yang mengira bahwa hadiah itu akan sampai pada 5 hari --mengingat pengiriman kargo dengan berat 13 Kg dan ramainya kuota ekspedisi akhir tahun-- ternyata dapat sampai lebih cepat.
Namun sore itu bukan lah sore yang ramah. Hujan sangat deras sedang mengguyur diiringi sambaran petir yang menggelegar. Bahkan kami mendengar kabar bahwa di kecamatan sebelah yakni Kecamatan Tulangan Sidoarjo sedang terjadi angin puting beliung.
Saya yang ketika itu sedang membuat ajir bambu untuk penegak tanaman di halaman depan rumah, sontak kaget bahwa mobil ekspedisi JNE EXPRESS telah parkir di seberang jalan. Sontak saya berlari ke belakang untuk mengambil payung dan mengabari Ibu bahwa hadiahnya sudah datang.
“Waduh, Ibu barusan aja selesai mandi dan masih pake handuk gini. Yaudah buruan kamu hampiri Mas atau Mbaknya biar ga kehujanan,” jawab Ibu sembari mencari dasternya.
Saya yang berlari ke depan berharap bisa lekas membantu petugas dari JNE sontak kaget bahwa Masnya sudah ada di depan pintu dengan kondisi lumyan kehujanan.
“Barusan mau saya samperin Mas, bawa payung biar ga kehujanan,” saut saya mendahului.
“Oh ga apa-apa kok Pak, sudah jadi kewajiban saya. Kebetulan memang paketnya besar, jadi tidak bisa bawa payung. Selain pembungkus plastiknyanya sudah rapi, saya kerukupin dengan mantel ketika saya nyebrang ke sini jadi aman paket Bapak. Betul ini rumah Bapak Agiel ya?” pungkas Petugas JNE.
Saya yang sebetulnya tidak perlu diyakinkan lagi dengen hanya melihat bungkus paket saya yang tidak basah, sangat kagum melihat dedikasinya namun hanya bisa menjawab, “Iya Betul Mas.”
“Baik. Silahkan tanda tangan di sini Pak,” sambung Petugas tersebut.
“Terima kasih. Saya permisi dulu kalau begitu,” tutupnya sambil berlalu dengan menutupi tubuhnya dengan mantel.
“Loh Mas, saya anter pake payung ini loh,” teriak saya meraih Petugas tersebut yang hendak menyeberang jalan.
“Terima kasih Pak, ini sudah pake mantel” Jawabnya dengan menahan mata yang terpercik air hujan.
Ibu tiba-tiba keluar dan langsung berteriak kencang melawan lantangnya suara hujan sore itu, mencoba mengatakan sesuatu kepada Petugas tersebut yang sudah ada di dalam mobilnya.
“Loh Mas, kok buru-buru!! Ini sudah saya buatkan kopi. Monggo..,”
Kami berdua, saya dan Petugas dari JNE Express pun sontak tertawa mendengar kepolosan Ibu.
“Terima kasih Bu, tapi saya harus bergegas mengantarkan paket lainnya. Sekali lagi, terima kasih Bu” Jawabnya lantang dan yang pasti dengan menahan tawa setelah berbagi kebahagiaan.
Terima kasih JNE karena telah berbagi, memberi dan menyantuni
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H