Tanpa sadar air mataku kembali jatuh. Ya Tuhan jika ini mimpi aku mohon Tuhan tolong bangunkan aku karena mimpi ini terlalu nyata bagiku Tuhan, aku takut. Kurasakan elusan pada pundakku dan ternyata itu adalah Isyraf, semakin kurasakan elusannya di pundakku semakin meyakinkan diriku bahwa yang terjadi hari ini bukanlah mimpi, melainkan kenyataan yang paling aku takuti.
Proses pemakaman Mama sudah selesai, kini rumah kembali sepi. Sanak-saudara sudah pulang dan akan kembali lagi nanti malam saat pengajian dan jadilah di rumah hanya ada aku dan Papa. Selepas pulang dari pemakaman Papa langsung masuk ke kamar, sedangkan aku menatap keliling rumah yang kurasakan suasananya sudah tidak sama seperti dulu. Sofa saat aku dan Mama suka menonton drama Korea bersama, dapur saat aku dan Mama suka memasak bersama, semuanya kini terasa berbeda.
Perutku tiba-tiba saja berbunyi, aku baru ingat sejak pulang dari rumah sakit aku belum mengisi perutku. Aku memutuskan membuka kulkas untuk mencari makanan yang sekiranya bisa kumasak, tapi yang kulihat adalah tupperware yang berisi ayam bumbu yang Mama buat kemarin. Tersenyum sendu, aku memutuskan mengambil itu dan memasaknya. Saat masak aku tidak bisa berhenti menangis, mengingat bahwa ini adalah masakan Mama yang akan menjadi terakhir kalinya aku makan. Selesai menggorengnya aku segera meletakannya ke atas piring dan memakannya. Saat makan pun aku menangis, rasa makanan ini tidak lagi sama karena orang yang membuatnya sudah tidak ada lagi di sini.
***
Hari ini adalah hari ketujuh setelah kepergian Mama, rumah sudah sepi lantaran pengajian sudah selesai sekitar beberapa jam yang lalu. Aku berada di kamar, menatap layar laptop yang menyala menampilkan tugas yang harus segera aku selesaikan, tetapi aku tidak ada minat untuk mengerjakannya. Waktu menunjukan pukul 22.00, aku memutuskan untuk mengambil air untuk menjernihkan pikiranku. Saat separuh jalan menuruni tangga aku mendengar samar-samar suara Papa dari arah ruang TV, sepertinya Papa sedang menelpon seseorang.
"Saya merasa bersalah sekali atas kepergian Alya. Dia terkena serangan jantung karena-" kudengar Papa menghela nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya, "Karena melihat saya dengan Lia berciuman."
Mendengar kalimat terakhir Papa kepalaku terasa pening, perutku terasa mual. Aku memeras ujung bajuku. Jadi Mama pergi karena melihat Papa berselingkuh? Tidak tahan dengan amarah yang memuncak aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar, mengunci pintu. Mengambil guling yang berada di kasur, lalu melemparnya kasar dan berteriak kencang, Papa tidak akan bisa mendengarnya karena kamarku kedap suara. Berteriak sekeras mungkin dan berakhir dengan tangisan. Semuanya salah Papa, semuanya salah Papa, semuanya salah Papa!
Aku menjambak rambutku, kesal. Memutuskan mengambil Handphone untuk menelpon Azkia, tetapi hanya suara operator yang terdengar, lalu memutuskan menelpon Isyraf dan berakhir sama. Tangisanku semakin pecah mendapati dua orang yang menjadi tempat berceritaku tidak menjawab telepon secara bersamaan. Tuhan, rasanya sakit sekali mengetahui kebenaran dari kepergian Mama. Saat aku sudah berusaha rela atas kepergian Mama, justru Engkau mengungkapkan sesuatu dibalik kematian Mama. Kenapa Engkau suka sekali bermain dengan perasaan hamba Tuhan? Kenapa?
***
Kini aku sudah berdiri di depan pintu Apartemen Isyraf tanpa memberitahunya bahwa aku mengunjunginya. Aku harap ia masih terbangun karena waktu sudah menunjukan pukul 01.00 pagi. Aku menekan bel pintu Apartemennya. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Masih tidak ada jawaban. Apa ia sudah terlelap? Apa aku cerita besok saja? Tapi aku benar-benar tidak ingin bertemu Papa, membayangkan wajah Papa sudah membuat perutku kembali mual. Aku tahu password Apartemennya, jadi aku memutuskan untuk masuk begitu saja.
Saat pintu Apartemen berhasil terbuka, pandanganku disambut dengan baju yang berserakan di mana-mana dan baju itu bukan hanya baju Isyraf saja, melainkan ada baju wanita. Kini pandanganku tertuju pada sepatu yang tergeletak tak jauh dari tempat aku berdiri, aku mengenali sepatu itu. Sepatu itu milik Azkia. Berusaha untuk berpikir positif, aku melangkah maju memasuki Apartemen Isyraf. Sampai di depan pintu kamarnya pikiranku sudah tidak bisa untuk berpikir jernih. Aku mengepalkan tanganku begitu keras hingga kuku aku memutih, mengambil sepatu Azkia yang berada di dekat pintu masuk, lalu melemparkannya ke pintu kamar Isyraf.
"Bajingan! Kalian berdua sama aja!" pekikku penuh dengan amarah, lalu segera meninggalkan Apartemen Isyraf dengan perasaan kecewa.
***
Kemarin adalah masa lalu, hari ini adalah anugerah dan besok adalah misteri.