Mohon tunggu...
Eko Setiaone
Eko Setiaone Mohon Tunggu... Freelancer - Human-Center Oriented Activism, Participatory Planner, Story Teller, Free man

"Kesalahan besar bangsa ini adalah seringkali melupakan sejarah, dan mengabaikan aspirasi orang-orang kecil. Dunia sudah modern, seharusnya tak menjadi penghalang. Saya memelajari sejarah dan mencari aspirasi dari masyarakat marginal untuk melawan kesembarangan pemerintah/ perusahaan/ pelaku usaha. Dunia tak akan adil jika semua orang menjadi kapitalis"

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

ITB, Kampus Eksklusif

25 Oktober 2019   08:03 Diperbarui: 25 Oktober 2019   12:49 3064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Website Jurnal Sosioteknologi, 2019

"Bunga rampai masyarakat lokal yang dikelilingi bangunan berlantai tinggi dan makhluk Kampus

Kata-demi kata, adalah penafsiran atas keluh kesah warga masyarakat yang wilayah mereka dijamah oleh orang-orang luar dan belum mereka kenali satu demi satu, siapa dan darimana asalnya. Hanya satu kepastian yang mereka bisa kenali, dari kehadiran mereka yakni "orang asing yang tinggal/ menetap di rumah sewa-nya"

Sumber : Harian Baracita KM ITB, 2019
Sumber : Harian Baracita KM ITB, 2019
Setidaknya ilustrasi wilayah di atas, bisa menggambarkan kondisi Kampus besar (ITB) hari ini. Dari analisis internal, tentunya, keberadaan ITB atau kampus berkelas dunia (Dipoyono, 2018) bisa menghadirkan kebermanfaatan (sosial, budaya dan ekonomi) bagi masyarakat sekitar. 

Tentu sebagaimana dalam muatan UU Perguruan tinggi, ITB memiliki peran menjunjung dan mengimplementasikan Tridharma Perguruan Tinggi. Ada ranah untuk mendidik, melakukan penelitian dan pengembangan (RnD) serta melakukan bakti kepada masyarakat (Pengabdian Masyarakat).

Namun, benarkah jika "Tridharma Perguran Tinggi" itu benar-benar dilaksanakan oleh sivitas akademika (Dosen-Mahasiswa-Karyawan) yang berasal dari ITB?  

Benarkah, jika akan dampak meluas (Multiplier Effect) apabila suatu lembaga/ institusi berada di suatu wilayah. Berapa banyakkah, anak-anak yang menghuni di Kecamatan Coblong, dan tumbuh di kecamatan ini? 

Berapa orang-kah yang dipekerjakan menjadi karyawan tetap di ITB? Lalu, adakah imbas jasa yang diberikan oleh ITB kepada Kewilayahan disini ?  Pertanyaan-pertanyaan ini, yang lahir menginspirasi saya untuk menulis.

Bandung sebagai Pusat Pendidikan Tinggi  

Dengan jumlah penduduk menurut BPS Kota Bandung (2019), yang menyatakan bahwa populasi orang di Kota Bandung sekitar 2,38 juta manusia dan sarana pendidikan yang hampir lengkap, setidaknya ada 180-an kampus yang menghuni di wilayah Bandung. Bandung, harusnya mendapat predikat kota pendidikan. 

Tak hanya disandang, oleh DIY karena realitanya, perguruan tinggi dll jauh lebih banyak berada di Kota Bandung. Artinya, jika demikian, Bandung menjadi destinasi bagi para pembelajar untuk belajar. Akan tetapi predikat kota pendidikan, sepertinya lebih terdengar dan tersua oleh Kota lain.

Hal yang menarik, Kota ini menampilkan sisi keunggulan Sumber Daya manusia-nya. Ada yang bilang, kalau kota kreatif itu Kota Bandung. Ada pula yang bilang, orang-orang teknokrat/ wirausaha, mayoritas berkuliah di Bandung. 

Adapula, yang bilang kalau Bandung sendiri dihuni oleh masyarakat yang sudah menerapkan konsep SMART CITY (Kota pintar), dengan kesiapan masyarakat terhadap penggunaan teknologi. 

Kota Bandung, sebagai ibukota Jawa Barat dan ikon kemajuan Jawa Barat, seharusnya memiliki modal sosial yang baik karena pendatang yang datang/ singgah ke Kota Bandung adalah pendatang yang berkualitas. 

Apalagi sebagian mereka, berusia produktif (17 s.d. 24 tahun) yang sedang menempuh pendidikan tinggi (bertitel sarjana). Namun realita ini justru berkata lain, bagi keseimbangan pembangunan masyarakat di Jawa Barat. Artinya, justru masyarakat sendiri berpotensi tersingkir di provinsi sendiri. Saya berkata demikian karena yang terbukti menurut Indeks Pembangunan Pemuda (IPP) Jawa Barat berada di angka 31 dari 34 provinsi (2018).

 Selain itu, menurut Indeks Pembangunan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat (2019) juga berada di urutan kelima belas, dengan unggul pada indikator ekonomi budaya, warisan budaya dan ekspresi budaya, pendidikan dan rendah pada indikator ketahanan sosial-budaya, budaya literasi dan pengarusutamaan gender. 

Hal ini makin menguatkan asumsi saya bahwa pembangunan kesejahteraan manusia di Jawa Barat benar-benar tak diperhatikan, oleh pemerintah. Justru menyingkirkan eksistensi masyarakat lokal sendiri dan melahirkan gap antara kaum pendatang dengan masyarakat lokal. 

Dengan beban kota Bandung, sebagai Ibukota / etalase Jawa Barat tentunya ada yang perlu dikoreksi dan dibenahi mengapa sarana pendidikan tinggi tidak berkolerasi kuat pada ketahanan sosial-budaya dsb.

Bandung, Dihuni Kampus Kelas Dunia, dengan Riset Unggulan 

Hampir 200 perguruan tinggi, yang ada di Bandung memiliki tingkatan/ standar masing-masing. Maaf, karena Saya hanya bisa menyebut sedikit, di antaranya mereka seperti ITB, ITHB, UNIKOM, STKS, UNPAD-S2 (di Kec. Coblong), UPI (Kec. Sukasari), dan Unisba, dan UNPAS- Tamansari (Kec. Bandung Wetan). 

Tentunya, kampus-kampus tersebut sudah menjadi destinasi bagi para pemburu pendidikan tinggi dalam negeri. Wajar mengapa mereka dicari, tak lain karena level mereka yang unggul di tingkat nasional dan internasional menurut pengamat pendidikan atau situs peringkat perguruan tinggi di dunia. 

Hingga disimpulkan-lah, kalau ITB adalah yang paling terbaik di Kota Bandung dengan berbagai pertimbangan.

Pertimbangan itu, diantaranya, seperti jumlah dan kualitas dosen yang produktif dan unggul (terbanyak membuat publikasi) terbanyak se Kota Bandung, kualitas riset atau penelitian (paten dsb) hingga produktivitas atau prestasi mahasiswa-nya untuk berkegiatan di kampus (penelitian, dan pembelajaran).

Wajar saja, ITB mengejar itu sebagai kehadirannya menciptakan daya saing masyarakat Indonesia. Tak hanya masyarakat Kota Bandung itu sendiri. Kita perlu menyadari, bahwa hari ini, kita sedang mengalami titik rendah dalam berpacu mengejar kualitas sumber daya manusia baik diri sisi produktivitas dan daya saing manusianya.

"Berdasarkan indeks daya saing global (GCI), daya saing Indonesia turun lima peringkat di antara 140 negara. Saat ini, Indonesia berada di peringkat ke- 50, sebelumnya berada di posisi ke- 45. Beberapa pilar yang dinilai dari GCI sekitar berjumlah 12 (dua belas), dengan pilar stabilitas makroekonomi paling tinggi sementara pilar kemampuan berinovasi mendapat kategori paling rendah.", papar Kompas (12/10) lalu.

Namun, Apakah Riset Unggulan ITB itu berdampak nyata di lingkungan sekitar

Hampir ribuan tulisan atau jutaan kertas (paper/ jurnal) diproduksi oleh ITB setiap tahunnya. Beragam bentuk tulisan, ada pembaharuan keilmuan/ pengetahuan, teori-teori baru dan pembuktiannya sampai tumpukan proposal kegiatan mahasiswa/i nya yang tiap bulan mampir, melaporkan neraca keuangan akhir kepengurusan mereka dalam himpunan jurusan/ unit kegiatan. 

Namun, akan serasa niris sekali karena dari beragam tulisan itu, hanya sedikit yang menuliskan tentang Wilayah Kecamatan Coblong. Bahkan bisa dibilang, tak ada. Adapun, mungkin tak menjadi prioritas penelitian unggulan.  

Sumber : Website Jurnal Sosioteknologi, 2019
Sumber : Website Jurnal Sosioteknologi, 2019
Dilihat dari angka enam puluh tahun ITB berdiri sebagai institusi, sangat memprihatinkan kalau benar-benar tak ada yang pernah meneliti (spesifik) tentang karakteristik, potensi dan peluang pembangunan wilayah dimana ITB itu berada. Harap saya, ada. 

Khusnudzon saya, ada tetapi tidak/ belum termuat di website atau lain kanal publikasi. Namun jika benar-benar demikian, benar kalau belum pernah ITB tidak pernah mengamati dan menilai potensi wilayah mereka sendiri. 

Lalu apakah hasil riset unggulan mereka di luar wilayah sendiri, apakah benar-benar merepresentasikan kebutuhan masyarakat lokal disana? Jangan-jangan, mereka dan civitasnya hanya mengejar formalitas untuk menjaga status quo, atas produktivisme mereka.

 Sungguh ironi apabila diibaratkan kalau mereka menikmati riset sendiri, ibarat makhluk Tuhan yang beronani (memproduksi riset) untuk dinikmati sendiri. (Semoga tidak demikian)

Bukankah dalam Islam, Memuliakan Tetangga itu mulia?

Al-Imam Al-Qurthubi di dalam Al-Jami' li ahkam Al-Qur'an (5/183)berkata : "Adapun tetangga, maka Allah Ta'ala telah memerintahkan untuk memeliharanya, menunaikan haknya, dan berpesan untuk memelihara tanggungannya di dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya. Bukankah kamu melihat Allah Ta'ala menguatkan penyebutan tetangga setelah dua orang ibu bapak dan karib kerabat.

Jika ITB diibaratkan seperti sebuah rumah tangga, yang harmonis- berstatus mewah- dan memiliki sejumlah modal untuk mencapai kekayaan. Maka, tentu ITB memiliki tanggung jawab terhadap keberdayaan rumah tangga lain, yang memiliki status menengah ke bawah. Bukankah seperti itu, kita hidup sebagai manusia?

whatsapp-image-2019-10-25-at-07-23-55-5db241190d82307def545a52.jpeg
whatsapp-image-2019-10-25-at-07-23-55-5db241190d82307def545a52.jpeg
Potret sebagian gedung di ITB di setiap sudutnya memang selalu menarik, dan menghadirkan harapan lebih, salah satu di antaranya Gedung LPIK (Lembaga Penelitian, Inovasi dan Kewirausahaan). 

Mimpi besar ITB Multikampus dan menerapkan nilai-nilai kewirausahaan bagi sivitas akademika nya, digaungkan ke berbagai kepentingan dan para pebisnis besar. Namun sayangnya, kehadiran Gedung LPIK hampir tak diketahui oleh masyarakat wilayah mereka sendiri (Survey pribadi, 2018). 

Warga kami (Coblong), tak tau apa yang dilakukan ITB dengan LPIK nya, tak mengerti dengan peluang bermitra dengan LPIK bahkan yang niris, mereka menganggap gedung LPIK adalah gudang, kantor karyawan ITB, dan tempat untuk menikmati sepeda boseh yang ada di depan kantor ini. 

LPIK sendiri, adalah wujud nyata yang diinginkan oleh ITB, agar menghadirkan sejumlah wirausaha- teknokrat dan kreatif, serta melahirkan gerakan-gerakan start up profesiional (Mimpi ITB, 2025). Kita seringkali memikirkan hal yang susah dan besar untuk dicapai namun kita abai dengan hal yang mudah dan murah, dengan sumber daya yang kita miliki.

Sumber Daya (Aset) Besar, Kontribusi Lokal Minim

Bangunan tinggi berlantai dan luas, Prasarana laboratorium terapan yang lengkap, SDM (dosen dan mahasiswa) yang memiliki potensi unggul dan berdaya saing, dukungan sivitas yang besar (potensi sponsor/ dana hibah/ wakaf/ modal usaha), Asrama mahasiswa yang dekat dengan lingkungan warga tidak bernilai dan berdaya guna untuk masyarakat lokal. 

Tak usah jauh-jauh, berbicara soal kualitas perguruan tinggi, berbicara soal pendayagunaan dan pemanfaatan aset perguruan tinggi ITB di wilayah Kecamatan Coblong rasanya jauh dari kata 'empati' atau peka terhadap kondisi sosial disana. Hal itu diungkapkan oleh beberapa warga di sekitar kampus.

"Sudah berpuluh-puluh tahun, kami dekat dengan mahasiswa mereka di Asrama Sangkuriang. Namun kami belum melihat I'tikad baik, bagi ITB dalam menata wilayah kami di RW 12 Dago. Justru, kami lebih sering diberi oleh penderma dari mahasiswa yang lama, yang pernah tinggal bersama kami. Meski mereka jauh, realitanya, mereka jauh lebih bisa hadir daripada ITB itu sendiri", ungkap Ketua RW 12 Dago, Kec. Coblong.

Budi, ketua RW 12 Dago itu menyiratkan kegelisahannya terhadap kondisi warganya di belakang asrama Sangkuriang, Dago. Meski berbagai wacana telah digulirkan oleh ITB, bahwa akan ada revitalisasi lingkungan wilayah disana.

Namun sampai tulisan ini dikabarkan, belum ada tindak lanjut apakah benar akan dilakukan penataan wilayah disana. Budi juga mengungkap bahwa alumni ITB lah yang sering memberikan bantuan uang baik untuk dirinya atau tetangga nya disana. Menurutnya, alumninya itu adalah bos di perusahaan ternama di BUMN Jakarta.

Lain hal dengan Budi, Aceng, ketua RW 04 Sekeloa, Kecamatan Coblong menyatakan khawatir terhadap eksistensi warga asli (penduduk lokal) Sekeloa akibat aktivitas dan perilaku mahasiswa hari ini. 

Meski tidak semua mahasiswa di lingkungan Sekeloa,berasal dari ITB akan tetapi tanggungjawab moral atas nama almamater menjadi tanggungjawab bersama kampus.

"Sejak mulai mahasiswa kos dan tinggal disini (sekeloa), saya paling khawatir kalau warga saya tidak bisa se-bebas yang dulu. Dulu kami bisa latihan pagi-siang-sore-malam, untuk berlatih kesenian ulin-barong dan rudat disini. 

Eh, setelah mahasiswa numpuk di Sekeloa, kami kesulitan mencari tempat berlatih. Yang bikin saya sakit, ketika dulu ada anak saya dilarang berlatih oleh pemilik kosan disitu. Padahal itu masih sore, jam 6. Ya, mau gimana lagi, saya mengalah-lah", Aceng.

Aceng, adalah pelaku kesenian ulin-barong di sekeloa, ia adalah satu dari beberapa pimpinan kelompok kesenian ulin barong di Sekeloa. Ia beranggapan bahwa tingginya densitas penduduk yang menetap di Coblong akan berisiko terhadap pelestarian kebudayaan setempat. 

Tak hanya budaya, tindak moral lainnya, seperti sopan santun, tata krama para mahaasiswa hari ini juga mengkhawatirkan. Begitu ungkap seorang warga lokal di Lebak Siliwangi lainnya.

"Saya paling sebal dengan perilaku mahasiswa hari ini, lewat depan orang lagi kumpul dan duduk. Bukannya bilang 'punten', terabas, aja nggak sopan. Jauh", warga Lebak Siliwangi.

Usaha menghilangkan Sekat

Berbagai usaha untuk memerbaiki hubungan antara kampus dengan mahasiswa, khususnya di ITB juga sering dilakukan oleh beberapa kelompok dari Masjid Salman ITB. 

Salman ITB memang bukan kelembagaan yang berada dibawah struktur rektorat ITB melainkan Salman ITB adalah wahana bagi para akademisi, cendekiawan dan sivitas lainnya berjumpa untuk merencanakan kehidupan yang lebih baik, berlandaskan agama dan teknologi. 

Berbagai layanan program dari Salman ITB juga ditujukan ke lingkungan masyarakat sekitar Coblong. Salah satunya, adalah perayaan hari besar islam (PHBI) yang tiap tahun diselenggarakan dengan memberikan bantuan nasi berbuka puasa atau daging kurban. 

Tak hanya itu, Salman ITB juga sempat berinovasi memberikan bantuan pangan non tunai (sembako) kepada sejumlah Rumah Tangga di Coblong. Namun, kebaikan itu harus kita cermati lagi karena ada fakta yang cukup tidak mengenakkan disana. Seorang ibu, kader PKK Kelurahan Dago menolak memberikan inisialnya di hadapan kami. 

"Ada beberapa warga saya mendapatkan bantuan daging dan beras dari Salman ITB dulu, namun rasanya tidak tepat sasaran. Yang justru harusnya dapat tapi tidak. Aneh", ibu Kader PKK

Curiga dengan perkataan itu, saya dkk menginvestigasi dan menanyakan ke beberapa stakeholder di tingkat kecamatan dan kelurahan sekitar Coblong (Lebak Siliwangi) menanyakan apakah ITB atau pihak Salman ITB pernah berkoordinasi kedua belah pihak untuk saling bertukar data atau bertukar pikir mengenai kontribusi terhadap warga miskin di sini. Jawabnya, tidak pernah ada sekalipun. Petik Ibu kader PKK di Lebak Siliwangi, seorang penggerak Wirausaha dan Posyandu.

"ITB tidak pernah meminta ke kami, data-data menyangkut rumah tangga miskin. Apalagi jauh ke depan, ITB memberdayakan kami? Rasanya tidak pernah sedikitpun, kami mendapatkan akses kesana. Bahkan untuk menjual produk-produk UMKM kami, kami selalu terkendala masalah halal dan kelayakan produk. Kami kesulitan memasarkan produk binaan UMKM kami disana. Padahal kami hanya berjarak beberapa radius meter dekat kampus", ungkap keluh Ibu Diah.

Sama halnya, dengan Kasi Kesosmas Kecamatan Coblong, Ibu Rina yang mengumpatkan kekesalannya pada mahasiswa dan kampus ITB terkait peran tridharma perguruan tinggi hari ini yang seolah tidak hadir sama-sekali di lingkungan kewilayahannya.

"Kami belum sekalipun menandatangani MOU kerja sama atau apapun bantuan dari ITB selaku kampus yang menetap disini. Tak hanya ITB, memang kampus lain disini sama. Tapi setidaknya bisa meniru-lah STKS, yang tiap tahun ada mahasiswanya yang berkegiatan disini", Ungkap Rina Kasi Kesos Kecamatan Coblong.

ITB, Bisa apa?

Sebenarnya banyak hal yang dapat ITB lakukan bersama unsur masyarakat, pemerintahan dan komunitas se Kecamatan Coblong. Harapan-harapan masyarakat lokal akan agar tercipta kedekatan tak hanya urusan transaksi (bayar-membayar) atau fisik, akan tetapi warga masyarakat menginginkan supaya kedekatan itu lebih jauh, tak hanya urusan soal uang kos- uang makan di warung atau uang karyawan

Agus, MPKT Karang Taruna, Biasa dipanggil mang Uwuh menyatakan bahwa ITB memerlukan kerja sama dengan pemerintahan kelurahan atau kecamatan Coblong dalam urusan pembinaan pemuda bersama, dalam hal ini mahasiswa.

"Saya lihat, mahasiswa hari ini sudah jauh perilakunya dengan mahasiswa dulu. Sekarang lebih pendiam, lebih arogan dan lebih asyik dengan lingkungannya sendiri. Mereka jadi bebas, ucapannya pun liar ketika di ruang publik/ umum. 

Saya ingin, ke depan ada upaya bersama pembinaan pemuda lokal (kader karang taruna kecamatan Coblong) bersama Mahasiswa ITB. Kalau perlu, kita adakan kerjasama. Toh, banyak kasus bunuh diri mahasiswa akhir-akhir ini di wilayah kami. Ya wajar kami tak tau, mereka (korban). Mereka sendiri sedari awal menutup diri.", ungkap Agus

Sependapat dengan Agus, Dani, sebagai tokoh agama di Kelurahan Sekeloa menyatakan bahwa hari ini antara lingkungan kampus (akademisi), pemerintahan lokal dan masyarakat harus mencanangkan terobosan, suatu aktivitas kegiatan kemahasiswaan yang lebih membaur dan melibatkan masyarakat setempat.

"Dulu, saya lihat mahasiswa ITB itu sering Ngajar ngaji dan bantu-bantu warga bergotong royong tiap minggu di kelurahan. Tetapi sekarang sudah jarang, mahasiswa mau beraktivitas lagi bersama masyarakat. Sedih rasanya, apalagi mereka kan statusnya sudah jadi warga kami (meski pendatang). Saya ingin komunitas atau kegiatan dulu, bisa didukung oleh pihak kampus", papar Dani.

Dengan demikian, kita perlu mundur beberapa langkah ke belakang (masa lalu), untuk mengingat romantisme masyarakat lokal dengan mahasiswa dulu atau pendatang di Kota Bandung. 

Tidak semua produk perguruan tinggi bernilai riset/ tulisan/ publikasi jurnal yang unggul, peran nya sebagai agregator, aktivator, kolaborator dan inisiator di tengah pragmatisme masyarakat urban jauh lebih penting dibutuhkan hari ini. 

Ada tanggung jawab besar, mendayagunakan masyarakat setempat (lokal) dengan potensi sumber daya ITB. Lebih jauh, bagaimana kampus itu bisa hadir di tengah masyarakat dan jadi wahana bermain warga setempat. 

Tujuan akhirnya, agar lulusan nya dapat diterima di masyarakat. Karya nya membumi dan dihargai oleh masyarakat. Bukan-kah, kampus ITB masih melahirkan putra-putri terbaik bangsa?

-Sekian, dan terima kasih.

Disusun Oleh
Eko Fajar Setiawan, Tenaga Relawan Pos Pelayanan Teknologi Tepat Guna Kecamatan Coblong 

Sumber:

1. Himpunan wawancara unsur masyarakat, pemerintahan dan tokoh representasi masyarakat se Kecamatan Coblong, 2018-2019
2. Sumber literasi dan dokumentasi pribadi, 2019
3. Foto google, 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun