Pertimbangan itu, diantaranya, seperti jumlah dan kualitas dosen yang produktif dan unggul (terbanyak membuat publikasi) terbanyak se Kota Bandung, kualitas riset atau penelitian (paten dsb) hingga produktivitas atau prestasi mahasiswa-nya untuk berkegiatan di kampus (penelitian, dan pembelajaran).
Wajar saja, ITB mengejar itu sebagai kehadirannya menciptakan daya saing masyarakat Indonesia. Tak hanya masyarakat Kota Bandung itu sendiri. Kita perlu menyadari, bahwa hari ini, kita sedang mengalami titik rendah dalam berpacu mengejar kualitas sumber daya manusia baik diri sisi produktivitas dan daya saing manusianya.
"Berdasarkan indeks daya saing global (GCI), daya saing Indonesia turun lima peringkat di antara 140 negara. Saat ini, Indonesia berada di peringkat ke- 50, sebelumnya berada di posisi ke- 45. Beberapa pilar yang dinilai dari GCI sekitar berjumlah 12 (dua belas), dengan pilar stabilitas makroekonomi paling tinggi sementara pilar kemampuan berinovasi mendapat kategori paling rendah.", papar Kompas (12/10) lalu.
Namun, Apakah Riset Unggulan ITB itu berdampak nyata di lingkungan sekitar
Hampir ribuan tulisan atau jutaan kertas (paper/ jurnal) diproduksi oleh ITB setiap tahunnya. Beragam bentuk tulisan, ada pembaharuan keilmuan/ pengetahuan, teori-teori baru dan pembuktiannya sampai tumpukan proposal kegiatan mahasiswa/i nya yang tiap bulan mampir, melaporkan neraca keuangan akhir kepengurusan mereka dalam himpunan jurusan/ unit kegiatan.Â
Namun, akan serasa niris sekali karena dari beragam tulisan itu, hanya sedikit yang menuliskan tentang Wilayah Kecamatan Coblong. Bahkan bisa dibilang, tak ada. Adapun, mungkin tak menjadi prioritas penelitian unggulan. Â
Khusnudzon saya, ada tetapi tidak/ belum termuat di website atau lain kanal publikasi. Namun jika benar-benar demikian, benar kalau belum pernah ITB tidak pernah mengamati dan menilai potensi wilayah mereka sendiri.Â
Lalu apakah hasil riset unggulan mereka di luar wilayah sendiri, apakah benar-benar merepresentasikan kebutuhan masyarakat lokal disana? Jangan-jangan, mereka dan civitasnya hanya mengejar formalitas untuk menjaga status quo, atas produktivisme mereka.
 Sungguh ironi apabila diibaratkan kalau mereka menikmati riset sendiri, ibarat makhluk Tuhan yang beronani (memproduksi riset) untuk dinikmati sendiri. (Semoga tidak demikian)
Bukankah dalam Islam, Memuliakan Tetangga itu mulia?
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!