Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Central

10 Oktober 2013   19:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:43 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saat benda diduga bom itu sudah diamankan oleh tim Jihandak di Maros, di Ruang Situasi BIN suasana tidak lantas menjadi tenang.

Tulisan kedua itu menarik perhatian. JAWABAN SALAH.

Deputi IntelDam Luki Parewa mulai memerintahkan teknisinya mengeluarkan semua data yang ada di komputer, menganalisa siapa kira-kira yang terlibat dalam teror menggelikan seperti ini. Juga untuk mengetahui siapa pelaku yang berani-beraninya berbicara lewat video yang kemudian tersebar seperti itu. Terlebih lagi, apa  maksud dari pesan-pesan tertulis itu.

"Sudah saya minta kepolisian untuk menginvestigasi di kantor berita yang bersangkutan. Sekarang fokus kita adalah pada siapa orang yang berada di video itu. Dari kelompok mana mereka, dan apa tujuan sebenarnya."

"Bom palsu. Mereka cuma ingin mempermainkan kita." Friedrich membanting gulungan kertas ke meja. "Siapapun yang bertanggung jawab di belakang semua ini, akan berurusan langsung dengan saya. Kurang ajar menampar muka kita di depan semua orang. Ini seperti pembunuhan karakter terhadap kemampuan intelijen. Jabatan saya di ujung tandung kalau demikian."

"Saya kira kita belum sampai pada kesimpulan itu, Pak."

"Jelas sudah!" bentak Friedrich. "Pelaku seperti ini sudah jelas teroris. Dia harus ditangkap, diadili, dihukum mati. Masyarakat kita tidak banyak tahu soal itu, kitalah yang tahu." Ia menghela napas. "Saya mau laporan komplit untuk semua ini, termasuk semua yang dari kepolisian. Saya mau berbicara dengan Kapolda, segera hubungkan dengan ruangan saya. Mungkin juga presiden sudah menunggu jawaban. Permisi, bapak-bapak. Harga diri perlindungan bangsa ada di pundak kita semua."

Di ruangannya, Friedrich merebahkan punggung, melihat ke langit-langit, kemudian menyeka mukanya dengan dua telapak tangan. Ia mulai berpikir sudah terlalu tua untuk urusan genting dan semua teka-teki yang seharusnya terjawab dengan mudah. Ia memikirkan karirnya, kegemilangan masa lalunya, cita-cita anaknya yang ingin meneruskan masa depan seperti dirinya, dan semua hal bertalian dengan pekerjaannya yang bergaji tinggi, namun juga berisiko tinggi.

Telepon tidak berdering. Rupanya Istana Negara belum juga menghubunginya.

Maka Friedrich menyempatkan diri mengobati rasa penasarannya, mengambil amplop bersegel di atas mejanya itu. Logo penting yang tertera di situ sudah jelas membuatnya wajib membuka bungkusan itu. Setelah membuka plastik pertama kemudian beralih ke plastik kedua, ia mengurungkan tangannya dengan sejenak menyambar roti lapis sayur yang ada di atas mejanya. Ada minyak di tangannya dan rupanya bercampur dengan lapisan giletin --yang juga berminyak-- di plastik amplop itu. Ia membaca surat itu, kemudian terperanjat.

Pernah tahu bahwa P.S. dalam bahasa Inggris berarti: tambahan? Dan bukannya Pasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun