Sementara baru saja ia ingin beranjak dari situ, Friedrich mendapati sebuah surat yang urung dibaca di meja kerjanya. Surat beramplop itu terbungkus plastik vakum dan terbungkus lagi oleh plastik mika pres yang membuatnya tertutup rapat. Berlogo "Presiden" dan sangat rahasia, surat itu bahkan tidak berani dibuka oleh jajaran sekretariat. Friedrich juga mengabaikan sarapannya, dua roti lapis sayur dan dua onde yang nampak mulai mengering. Ia hanya menyisir rambut tipis berubannya, mengencangkan ikat pinggang, dan menanggalkan jas yang membuat badannya hanya terasa semakin panas. Di Ruang Kondisi tempat pertemuan, Friedrich menemui empat direktur, enam staf ahli dan belasan pejabat menengah berdiri menyambutnya. Mereka semua mulai kikuk setelah sebelumnya terpusat pada tayangan televisi sama yang ditonton oleh sang kepala beberapa menit sebelumnya.
Berita yang tersiar hampir di semua saluran itu menunjukkan gambar langsung tentang seorang anak yang terlilit bom di Pasar Sentral Maros, ratusan polisi yang mengosongkan satu blok pasar dan membuat radius steril sejauh 100 meter, beberapa reporter yang memaksakan diri melaporkan dari jarak dekat kemudian dihalau, dan label kecil yang bertuliskan frasa aneh, belum pernah ada sebelumnya.
"Bagaimana ini luput dari pengawasan kita?" tanya Friedrich kosong, kesal. Pertanyaan itu tidak terjawab sampai ia mengulangnya sekali lagi dengan nada bentakan. Setiap pegawai di ruangan itu terhentak dari pijakan mereka, gentar.
"Em, sempat ada laporan dari tim kita yang di Makassar, Pak. Tapi rapat minggu kemarin memutuskan kemungkinan ini false alarm sangat besar." Seorang di antara bawahan itu, yang nampaknya seorang teknisi komunikasi dan ahli komputer dari Deputi Komunikasi --terlihat dari kartu pengenalnya, memberanikan diri dengan jawaban.
"Saya belum konfirmasi itu," sergah Friedrich.
"Benar, Pak. Tapi bapak sudah serahkan pengambilan keputusan ke Pak Deputi IntelDam selama Bapak berkunjung ke Bali akhir pekan lalu," staf ahli mengingatkan, menyinggung bagian Intelijen Dalam Negeri yang dimaksudkannya.
Friedrich ingat dengan rapat itu, hal yang justru kini membuatnya menyeka kepala rapat-rapat dalam kebingungan. Ia mengitari ruangan itu, melihat ke arah televisi dan bawahannya yang terdiam, termasuk si penjawab barusan.
"Sekarang di mana Pak Luki?"
Luki Parewa, Deputi IntelDam tengah berada di kantin saat berita ini pertama kali viral, langsung menghentikan makan siangnya dan berlari ke lantai empat tempat semua staf dan petinggi berkumpul. Begitu ia membuka pintu, laki-laki empat puluh sembilan tahun berambut hitam itu langsung mengangguk, meminta maaf dan bergabung dengan jajaran lainnya.
"Satu dua tiga, saya minta kalian semua keluar." Kepala memerintahkan para staf yang bukan di level strategis untuk meninggalkan ruangan, menyisakan hanya tinggal tujuh dari mereka, termasuk staf ahli dan teknisi komunikasi, serta seorang office boy. Meja bundar panjang itu kini jadi fokus pijakan mereka saat televisi terus mengabarkan secara langsung.
**