Masyarakat sekitar berkerumun, mencoba jadi saksi dari kejadian yang mungkin akan membuat daerah mereka terkenal. Semua mata tertuju pada detik-detik seorang bocah mulai coba ditangani tim gegana yang nampak masih menunggu dari jarak sembilan meter. Benda asing yang terlilit di badan anak laki-laki itu berukuran satu tas pinggang kecil, yang jika ditambah dengan kabel-kabel dan beberapa tabung transparan di belakangnya kira-kira akan seberat sebuah tas punggung anak SD. Anak laki-laki yang diketahui namanya Faiz itu berkeringat, sesengukan dan terus-menerus memanggil orang tuanya. Zulkifli dan Rauf yang kini siaga rapat di barisan polisi lainnya, mulai mengira-ngira sendiri, apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana awalnya sampai anak itu bisa terjebak dalam toilet tidak terpakai, dan dalam keadaan terlilit benda berpotensi berbahaya.
Seorang tukang becak, duduk bertengger di atas tunggangannya, mencoba ambil jarak pandang yang lebih baik di sebuah jembatan kecil lima puluhan meter dari TKP. Dari tempatnya itu dia bisa menyaksikan ketinggian yang diisolasi tempat polisi-polisi berseragam ketat mulai mengamankan parameter. Di tangannya berserak-serak berita yang menunjukkan bagaimana kamera-kamera pers berhasil menangkap dari jarak sebelas meter wajah anak itu. Ia baru saja mencoba mengingat-ingat lagi di mana ia pernah melihat sosok itu, ketika tiba-tiba tayangan buyar oleh sebuah video.
Seorang dengan kepala tanpa rambut, mengenakan jaket jumper dan berusia sekitar tiga puluhan, berbicara di depan kamera dengan jarak yang begitu dekat, sampai-sampai lubang hidungnya nampak lebih besar dari aslinya.
Kita semua jadi bagian dari pertunjukan penting untuk negeri yang tidak mengerti bagaimana mengatur kehidupannya sendiri. Video itu mulai bersuara, membuat orang-orang di warung saling menghentikan candaan.
Bom di pasar Sentral itu ujian saja buat kalian. Ada banyak politikus di Senayan yang mengira diri mereka sudah cukup pintar untuk mengatur hajat hidup orang banyak. Padahal mereka tidak mengatur segelintir diri mereka. Saling makan demi uang. Di belahan lain negeri ini, seorang gendut mencoba menjadi punggawa dengan berkacak pinggang dan mengira posisinya akan jadi jaminan segenap bangsa akan aman dari terorisme. Heheh.... Itu terlalu naif.
Tayangan televisi itu membuat semua orang di ruang kondisi BIN terdiam, fokus menyimak, termasuk Friedrich yang merasa benar-benar tersinggung oleh ucapan orang di rekaman itu.
Kalau kalian merasa pintar. Oh, atau jika memang ada orang pintar di antara mereka yang dikaitkan dasi di lehernya itu ibarat gantungan, silakan selesaikan permainan hari ini. Petunjuknya gamblang dan gampang. Itu, sekali lagi, jika ada orang pintar di antara kita. Mazel Tov.
Video terhenti. Tayangan kembali ke TKP.
Fridrich langsung memerintahkan siapapun di ruangan itu untuk menghubungi stasiun televisi yang memutar rekaman itu. "Dari mana mereka mendapatkan rekaman itu, kapan, dan siapa pengirimnya. Saya mau semua detil ini terkuak jam ini juga, detik ini juga. Muka kita sudah ditampar cukup keras dengan penyanderaan seperti ini. Saya tidak mau ada yang main-main dengan intelijen. Presiden pasti sudah menunggu jawaban dari saya."
**
Katarina Davis, seorang perempuan muda, berkulit putih campuran ras kaukasia dan Asia, tiba-tiba tertahan di lobi kantor BIN. Ia mengutarakan alasannya berada di situ, dan mengapa ia harus diperbolehkan masuk dan bertemu dengan kepala kantor intelijen itu segera. Kedua satpam itu tak perlu banyak alasan untuk menolak calon tamu itu masuk. Tapi dua alasan paling atas: karena sedang ada krisis dan pimpinan tidak mungkin bisa diganggu; dan karena perempuan ini datang dengan pakaian yang dianggap kurang sopan: celana gombrang berwarna laut dan baju tipis tanpa lengan yang lebih mirip rompi. Hanya ada tas kecil dan sandal sepatu yang malah menegaskan perempuan ini lebih cocok jadi wisawatan.