Satu setengah jam sebelum itu, Katarina duduk menyeruput kola berapung es krimnya di sebuah kafe kawasan Menteng, seketika saat matanya tidak sengaja melihat tayangan televisi itu. Nalurinya sebagai seorang grafolog mau tidak mau membawa perhatiannya sedikit-sedikit terpancing pada semua yang berbau tulisan, apalagi yang sedang diberitakan media. Melihat drama penjinakan benda diduga bom itu, ia langsung merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan pemandangan yang disaksikannya itu. Maka kemudian ia mencoba menelepon beberapa hotline pemerintah yang rupanya sibuk semua. Tak berlama-lama lagi, Katarina sendiri meninggalkan kafe, memanggil taksi dan langsung meluncur ke tempat yang terus-terusan berada di dalam kekhawatirannya.
"Central. Central!" katanya tidak begitu lancar dalam bahasa Indonesia.
Kedua satpam itu terus-terusan meyakinkannya untuk jangan masuk, menunggu sampai semua situasi terkendali.
"It's emergency!" katanya. Dibalas lagi oleh dua satpam itu bahwa memang sekarang situasi sedang emergency, makanya ia tidak boleh masuk.
"No, No. Something I need to send to the chief. Pak Kepala. Sesuatu telah terjadi!"
Satpam bergeming.
**
Pukul 15.20.
Kapolda Sulawesi Selatan Brigadir Jenderal Yoyok Sutarman sudah berada di lokasi dan mulai merasakan kejenuhan selama berjam-jam dan polisi seperti tidak bisa bertindak. Di televisi mulai bermunculan para pengamat intelijen, pengamat kepolisian, bahkan politisi bertukar spekulasi tentang bagaimana kemungkinan sebuah daerah kecil bisa jadi sasaran terorisme, mengapa pasar, dan apa sebetulnya tujuannya. Beberapa dari mereka bahkan mengira ini semua konspirasi oleh lawan politik mereka untuk menjatuhkan sang presiden.
Di lapangan, Brigjen Yoyok sudah dalam posisi stand by, radio panggil di tangan dan kacamata matahari melindungi matanya. Dua petugas Gegana berseragam tebal mendekati anak itu dari koridor timur dan barat. Seutas kawat baja dibentangkan dari atap lantai dua pasar sampai ke sebuah tempat pembuangan sampah letaknya seratus meter dari jalan terdekat. Di bawah sana, berjajar mobil-mobil siaga mulai dari ambulan, mobil tim INAFIS sampai pemadam kebakaran. Beberapa petugas bahkan membawa kantung jenasah, bersiap untuk hasil terburuk.
Aiptu Zulkifli dan rekannya Briptu Rauf ikut mengamankan warga yang berdesakan, saling bertanya di mana gerangan "tawanan mereka sebelumnya", si gelandangan itu. Akan tetapi pertanyaan itu cepat-cepat teralihkan karena di atas sana, kedua polisi penjinak bom sudah mendekat di jarak satu meter.