Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tujuh Surat (1)

11 Mei 2012   02:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:27 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1336700961193841745

PAWIWAHAN Ageng Keraton Ngayogyokarto akan tercatat sebagai kepingan sejarah yang menjadikan Yogyakarta sebagai titik perhatian dunia sekali lagi atas tradisi ratusan tahun. Sang putri bungsu Raja Mataram akan dinikahi oleh pemuda "kalangan biasa" dari Sumatera, pulau yang dulu dianggap bagian integral dari salah satu kerajaan terbesar di Nusantara. Tradisi paling intim dari kekeratonan yang dilaksanakan sejak era Sri Sultan Hamengkubuwono VII itu adalah panggilan jiwa bagi segenap rakyatnya. Saat isu disintegrasi NKRI mencuat ke permukaan, pernikahan putri Raja Mataram ini seperti guyuran hujan di atas padang bulan yang gersang. Sayangnya, hati Adam Yafrizal tetap kering, mengingat ia harus menghadiri perayaan rakyat itu demi pemuasan hasrat terliarnya akan bentara budaya, dan di saat bersamaan harus menemani sang mantan istri yang justru ingin menikmati dengan cara yang berbeda. Ada waktu lima hari.

Surat demi surat diamati. Tak satupun yang menarik perhatiannya. Bahkan beberapa undangan acara yang sudah menyediakan fasilitas penjemput privat tak menarik perhatiannya karena harus berurusan dengan orang yang bebal. Ia hanya membaca beberapa pesan singkat yang mengalir masuk ke telepon genggamnya. Beberapa memang panggilan kasus yang kecil di matanya. Namun ketika ia sudah mulai bosan dan nyaris meletakkan kembali alat penanda peradaban terkini itu, sebuah SMS membuatnya menegakkan posisi duduk.

Ada surat-surat, dan tak satupun yang kumengerti. Mungkin Anda tertarik.

Pesan akhirnya berbalas. Menjelang siang saat ratusan pekerja kantoran menyambut makan siangnya, Adam sudah terduduk sendirian di Teras, kafe kecil yang menghadap langsung aliran Sungai Code di sebelah barat. Setengah jam menunggu dan nyaris bosan mendengarkan lagu "Alun-alun Nganjuk" diulang sampai lima kali oleh orkestra kecil di panggung, tamu itu akhirnya tiba.

Gina Ramelan lebih mirip model daripada yang digambarkan olehnya lewat SMS sebelumnya. Tinggi lebih dari 170 senti, kulit putih dan rambut bergelombang menyentuh pundak. Caranya menyambut tangan dan melempar senyum membuat Adam sekilas menilainya sebagai perempuan yang "baru saja matang", namun penilaian indah itu ia simpan rapat-rapat di dalam saku ketika dari arah pintu kemudian mendekat seorang laki-laki bertubuh tegap dengan setelan kaos polo merah tua lengkap dengan bawahan khaki dan sepatu sandal berciri semiresmi. Jam tangan buatan Swis menjelaskan orang semacam apa tamu itu sebenarnya.

"Senang bertemu kalian."

Kedua tamu itu duduk dan langsung memesan dua paket makanan laut, sekaligus mengisyaratkan dengan tegas kepada investigator itu untuk menyimpan saja uangnya. Adam berterima kasih dengan santun sembari membawa perhatian mereka langsung ke pokok permasalahan.

"Nama saya Yanuar Ramelan," tamu satu itu memperkenalkan diri. "Saya kira istri saya sudah mengenalkan dirinya lewat pesan singkat sebelum ini."

Adam mengangguk. Pasangan yang ideal secara visual, pikirnya sekilas.

"Jadi, kami ada masalah dengan surat-surat, Pak Adam. Bukannya apatis sama kepolisian. Mereka juga sudah menyimpan kasus ini untuk diselidiki, tapi saya pesimis ini akan tuntas di tangan mereka. Saya paling tidak suka karena mereka minta suap macam-macam untuk ini. Paling-paling hal ini mereka anggap cuma lelucon."

"Itu tidak mengejutkan," komentar Adam ringan.

"Nah, saya kira Anda juga mengerti. Itulah mengapa saya menyuruh istri saya untuk menghubungi Anda, karena reputasi Anda akhir-akhir ini sering kami baca di KR. Sebenarnya, istri saya yang paling bermasalah dengan hal ini. Kami mohon maaf jika ternyata Anda punya banyak kasus untuk diselesaikan."

Adam menggeleng sambil tersenyum. Ia menegakkan badannya sembari meletakkan kedua lengan terlipat di tepian meja.

Suami itu memandangi Gina yang mengguratkan kekhawatiran di wajahnya.

"Kejadiannya dimulai sekitar lima hari yang lalu, Pak Adam." Gina akhirnya menjelaskan. Kedua tangannya memeluk tas jinjing yang ditaruh di atas paha.

"Waktu itu, Selasa sore menjelang magrib, saya menunggu suami pulang kantor. Tiba-tiba, satpam rumah kami mengetuk pintu dari luar, katanya ada surat yang datang. Surat tidak beramplop. Hanya selembar kertas yang terlipat dan berstaples. Tidak ada tulisan pengirim, ataupun tujuan surat. Setelah saya buka, di dalamnya baru ada nama saya tercantum. Saya pikir, memang sepertinya surat itu untuk saya, tapi isinya sama sekali membingungkan."

Adam menyimak semakin bersemangat. Keningnya beberapa kali bergerak dan mengkerut. "Membingungkan? Anda bawa suratnya?"

"Iya benar, Pak." Gina baru akan merogoh tasnya ketika Adam meminta untuk menjelaskan saja terlebih dahulu.

"Baik, Pak. Surat itu isinya hanya puisi, dan sepertinya penulisnya mengenal saya baik sekali."

""Bagaimana Anda tahu?"

"Saya juga belum mengerti, Pak. Tidak ada nama pengirim atau apapun. Yang paling aneh adalah justru gambar-gambar mirip simbol atau sandi, saya tidak tahu, yang ada di surat pertama dan surat-surat berikutnya."

"Simbol? Jadi ada beberapa surat?"

"Ya, Pak. Ada enam surat."

"Boleh saya lihat sekarang?"

Akhirnya enam lembar surat itu kini dihampar di atas meja. Adam memerhatikan sejenak dan terdiam. Jari-jarinya menungkup menopang dagu, ketika pasangan suami-istri itu saling memandang penuh harap.

Surat-surat itu ditulis di atas enam lembar kertas berbahan sama. Warnanya agak kekuningan seperti telah tersimpan lama. Enam simbol yang dimaksud itu memang menarik perhatian, karena tertera berbeda di setiap suratnya. Surat yang disebut Gina datang pertama kali mengandung sebuah puisi bertema kehidupan dengan simbol menyerupai siku tegak sembilanpuluh derajat. Di surat kedua dan berikutnya berturut-turut tertera simbol awan mirip bentuk gumaman dalam komik, segitiga sama sisi, kotak dengan tulisan aneh di tidak utuh,  dua simbol panah berlawanan  arah, dan angka tujuh. Adam hanya melihat sekilas simbol-simbol itu tanpa banyak membaca puisinya.

"Apa pendapat Anda, Pak?" kata Yanuar. Tapi investigator itu malah tersenyum ketika melihat mata mereka secara bergantian.

"Ini surat biasa. Kertasnya biasa, HVS jenis ringan, meskipun sudah lama dan nyaris rusak. Simbol-simbol ini, yang sepertinya dibuat oleh anak SD. Kalian punya anak?"

"Iya. Tiga."

"Yang paling tua usia berapa?"

"Sebelas."

Adam berpikir sejenak. Ternyata Gina sudah cukup berumur dalam penampilannya yang masih nampak seperti pemudi. Pintar merawat diri, itu salah satu senjata penting bagi perempuan yang ingin membuat laki-lakinya merasa dihargai. Pikiran itu kemudian buyar dalam sekejap.

"Hm. Kalau yang paling kecil?"

"Empat tahun. Tapi saya yakin mereka tidak bisa membuat surat-surat semacam ini, Pak Adam." Gina mudah menebak jalan pikiran orang.

Adam tertawa selama dua detik. "Bukan. Bukan itu maksud saya, Bu Gina," kilahnya. "Tapi tetap saja ada yang menarik dari surat-surat ini. Kalau Anda tidak keberatan, biar saya fotokopi saja dulu ini, untuk saya pelajari. Maaf, tapi perkiraan awal saya bisa saja ini perbuatan orang iseng. Anda tidak perlu khawatir."

Gina dan Yanuar mengangguk, lalu memberitahu bahwa mereka juga sudah menyiapkan fotokopi dari keenam surat itu untuk dipelajari Adam. Tak lama kemudian pesanan mereka sampai dan mereka banyak menceritakan keluarga masing-masing sambil makan. Gina sempat terkejut ketika Adam menceritakan soal kelajangannya kembali, meski ia menyimpan beberapa hal yang lebih baik dirahasiakan. Yanuar mengungkapkan simpati dengan cara yang flamboyan, namun terdengar wajar karena  belakangan ia mengungkapkan profesinya sebagai pilot pesawat komersial.

"Pilot adalah salah satu pekerjaan yang saya kagumi, jika Anda ingin tahu."

Pasangan itu terkejut sambil mengangguk tersipu, sementara Gina kemudian menceritakan pekerjaannya sebagai teller bank. Pekerjaan yang sangat wajar, pikir Adam.

"Itu bisa menjawab sedikit bahwa Anda berdua bisa sama-sama punya penggemar, secara profesional tentu saja."

"Ah, Anda bisa saja, Pak. Pekerjaan investigator juga bergengsi lo!"

Adam menggeleng ketika menyeka bibirnya dengan tisu. "Di satu sisi memang begitu, Bu Gina. Di sampul nampak indah, tapi di dapurnya sungguh membingungkan."

"Bukankah itu yang jadi nilai utamanya?"

"Ya memang. Tapi standar integritasnya tinggi."

Kali ini Yanuar yang mengangguk. Tentu saja seorang pilot lebih paham ihwal integritas.

"Oh iya. Maaf. Kalau saya boleh membahas kasus ini lagi." Adam menyela singkat ketika kedua tamunya menyilakan dengan ramah.

"Kenapa kalian ingin mengangggap serius surat-surat ini. Apa pentingnya? Maksud saya, Anda bisa saja mengabaikannya dan melanjutkan hidup yang wajar?"

Gina menghela napas.

"Sebetulnya kami juga ingin demikian, Pak Adam. Tapi kejadian yang terjadi akhir-akhir ini memaksa kami untuk menganggap hal ini serius."

Adam tertarik lebih intens lagi kini. "Kejadian apa?"

Gina dan Yanuar saling memandang sebelum mereka menceritakan lebih lanjut. "Sebetulnya sebelum ini kami sudah menerima beberapa kali teror, Pak Adam. Beberapa sudah kami laporkan juga ke polisi tapi sampai saat ini ..."

"Tidak ada tersangka," potong sang suami. Gina kemudian melanjutkan lagi kalimatnya. "Ya, tidak ada tersangka. Kami sempat tenang selama beberapa minggu terakhir, tapi teror itu berlanjut ternyata. Menurut satpam rumah, sering ada lemparan ayam mati dari luar, dengan leher terpenggal. Yang terakhir bahkan lebih mengerikan, karena mereka menaruh bangkai anjing dengan mulut berbusa tepat di depan pintu kami. Entah siapa pengirimnya, kami tak mau berspekulasi."

Adam mengernyitkan dahi. Para tamunya ini seperti punya urusan serius dengan orang-orang yang tidak menyukai mereka.

"Tidak ada petunjuk sama sekali?"

"Ya belum, Pak Adam. Tapi kami berusaha tetap tenang. Kami antar anak-anak ke sekolah setiap pagi dan menyempatkan meminta sopir untuk menjemput mereka sepulang sekolah. Semata-mata untuk mengantisipasi."

"Itu bagus."

Gina dan Yanuar mengangguk. "Kami kemari dan menemui Anda juga, karena kami ingin hidup kami kembali normal, Pak. Barangkali satu teror dan lainnya tidak berkaitan, tapi kami merasa ini harus dipecahkan masalahnya. Kami ingin sekali menemui mereka dan berbicara masalah ini baik-baik. Kalaupun mereka punya permintaan, kami mau mengusahakannya. Tapi ini sudah berlalu dua bulan, dan kami rasa sudah waktunya kami menemui orang yang bisa memecahkan semua masalah ini sekaligus."

Pasangan suami istri itu memandang Adam penuh harap.

"Saya akan usut kasus ini. Itu janji."

"Kami berterima kasih sekali."

Gina dan Yanuar lalu menyerahkan lembar fotokopi untuk setiap surat yang sudah mereka tunjukkan sebelumnya. Adam menyisipkannya ke tas lalu membawa topik pembicaraan ke hal-hal yang lebih ringan. Dalam sesaat, ia sudah mendapatkan banyak masukan tentang rencana menghadiri Pawiwahan Ageng dan bentuk riasan yang cocok dipakai. Tentu saja seorang teller bank lebih mengerti hal itu.

(Selanjutnya ...)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun