"Itu tidak mengejutkan," komentar Adam ringan.
"Nah, saya kira Anda juga mengerti. Itulah mengapa saya menyuruh istri saya untuk menghubungi Anda, karena reputasi Anda akhir-akhir ini sering kami baca di KR. Sebenarnya, istri saya yang paling bermasalah dengan hal ini. Kami mohon maaf jika ternyata Anda punya banyak kasus untuk diselesaikan."
Adam menggeleng sambil tersenyum. Ia menegakkan badannya sembari meletakkan kedua lengan terlipat di tepian meja.
Suami itu memandangi Gina yang mengguratkan kekhawatiran di wajahnya.
"Kejadiannya dimulai sekitar lima hari yang lalu, Pak Adam." Gina akhirnya menjelaskan. Kedua tangannya memeluk tas jinjing yang ditaruh di atas paha.
"Waktu itu, Selasa sore menjelang magrib, saya menunggu suami pulang kantor. Tiba-tiba, satpam rumah kami mengetuk pintu dari luar, katanya ada surat yang datang. Surat tidak beramplop. Hanya selembar kertas yang terlipat dan berstaples. Tidak ada tulisan pengirim, ataupun tujuan surat. Setelah saya buka, di dalamnya baru ada nama saya tercantum. Saya pikir, memang sepertinya surat itu untuk saya, tapi isinya sama sekali membingungkan."
Adam menyimak semakin bersemangat. Keningnya beberapa kali bergerak dan mengkerut. "Membingungkan? Anda bawa suratnya?"
"Iya benar, Pak." Gina baru akan merogoh tasnya ketika Adam meminta untuk menjelaskan saja terlebih dahulu.
"Baik, Pak. Surat itu isinya hanya puisi, dan sepertinya penulisnya mengenal saya baik sekali."
""Bagaimana Anda tahu?"
"Saya juga belum mengerti, Pak. Tidak ada nama pengirim atau apapun. Yang paling aneh adalah justru gambar-gambar mirip simbol atau sandi, saya tidak tahu, yang ada di surat pertama dan surat-surat berikutnya."