Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bumi Memanggil Langit 6

11 Agustus 2011   09:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:53 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(SEBELUMNYA....)

Azan Maghrib menjelang.

Di ruang tamu dengan kursi empuk dan lukisan kuda itu, Pak Ilman menjamu tamunya yang kali ini jumlahnya jauh lebih banyak. Kelompok Anjal SISAN lebih meriah saling bercanda. Andri berusaha menenangkan teman-temannya yang berebut kursi dan menunjuk gelas-gelas berisi sirup yang sudah tersedia. Makmun tersenyum melihat mereka, sambil membaca berita koran. Pak Ilman, yang merasakan kemeriahan jauh melebihi pengalamannya selama beberapa tahun terakhir, terus sumringah. Kopiahnya masih bertengger menutupi ubannya.

"Sudah... sudah. Kalian semua dapat," katanya kepada anak-anak yang berebut kursi itu.

Makmun membalas senyum. Di arah dapur, beberapa ibu kampung ditemani tiga perempuan muda mengurusi hidangan buka puasa. Memang sudah jadi kebiasaan Pak Ilman mengadakan buka puasa bersama untuk warga Kampung Kotabaru setiap hari pertama Ramadan.

Marzuki dan perempuan muda rekan kerjanya juga hadir, ditemani dua orang staf yang baru kelihatan.

Lantunan Murottal syair-syair Kitab Suci terdengar melalui pengeras suara yang dipasang di salah satu kamar. Lampu kristal sudah menyala lengkap. Makmun yang memutuskan untuk menginap di rumah ini semalam membelikan beberapa bola lampu baru. Sementara itu di halaman luar, dua puluh kursi dibaris saling berhadapan, diisi beberapa pemuka kampung.

Pak Ilman keluar lalu menyalami mereka satu per satu. Lebih tepatnya, menyambut salam jabat tangan mereka yang sontak berdiri begitu tuan rumah muncul dari ambang pintu. Pak Ilman berbincang sejenak.

Di dalam rumah, Andri tidak bisa menyembunyikan kekagumannya pada pemilik rumah. Matanya mengedar seluruh ruangan itu, dari lampu kristal, lukisan kuda, kaligrafi ayat kursi, dan foto sepasang suami-isteri bergamis. Pandangannya lalu berhenti di penampilan Makmun, yang nampak pas dengan setelan baju koko berwarna hijau zamrud dan celana kain berwarna hitam mengkilap.

Andri menggeleng sambil berdecak.

"Baju baru, Mas Makmun?" tanyanya.

Odi, Irwan, Zidan, Taro, Ningsih, dan Azikin ikut melirik. Mereka belum berani menggigit roti lapis legit yang sudah terkepal di tangan mereka masing-masing.

"Hm?" Makmun menoleh. "Oh, ini. Iya, tadi Pak Ustaz ngajak saya ke Beringharjo beli ini." Ia tersipu.

"Bagus, Mas. Cocok," sahut Zidan diamini teman-temannya yang lain.

"Ah, kalian bisa aja. Pak Ustaz itu orangnya suka memberi. Kalian tunggu saja, pasti dikasih," imbuh Makmun sambil tersenyum.

"Apa iya? Kita kan bukan siapa-siapanya. Beda dengan Mas Makmun yang jadi anak angkatnya." Ningsih berkomentar ringan. Ia memang jarang berbicara. Teman-temannya mengangguk.

"Insya Allah Pak Ilman orangnya adil. Tidak pandang bulu kalau mau memberi atau bersedekah. Kalian sabar ya."

Tiba-tiba Pak Ilman kembali masuk ke ruang tamu itu.

"Wah... wah... wah.... Sebentar lagi bedug ya," komentarnya singkat. Ia lalu memberi isyarat kepada beberapa perempuan muda yang berada di dapur. Di halaman luar, beberapa tamu baru saja datang dan nampaknya mereka butuh kursi tambahan.

"Baju Mas Makmun bagus kan?" tanya Pak Ilman.

Anak-anak itu terdiam keheranan. Mereka masih penasaran apa maksud pertanyaan itu.

"Andri, Zidan, Irwan, Odi, Taro, Ningsih, Azikin, besok pagi kita ke Beringharjo. Kubelikan kalian pakaian untuk tarawih. Mau kan?"

Anak-anak itu senang bukan kepalang. Mereka meloncat dari kursi, berteriak, dan saling menyambut tepukan tangan. Hampir saja roti-roti itu jatuh dari genggaman mereka. Pak Ilman dan Makmun tersenyum dan mengangguk-angguk.

Melihat senyuman tuan rumah, Andri melirik ke arah Makmun. Pemuda lajang itu mengedipkan sebelah matanya.

"Andri, sebetulnya kamu ini Islam atau agamanya apa?" tanya Pak Ilman serius.

Andri terdiam, menunduk. Teman-temannya juga. Mereka tidak berani menjawab pertanyaan orang tua ini, meskipun pertanyaan semacam itu sering jadi bahan candaan mereka di persimpangan jalan.

Azan Magrib berkumandang.

"Ya sudah. Mari kita berbuka saja...." seru Pak Ilman kemudian, menggugurkan niat dan pertanyaan yang ia ajuka sebelumnya.

Makmun dan anak--anak itu lalu menikmati semua hidangan di atas meja.

Di hari pertama puasa ini, rumah itu kembali hangat.

***

Lalu lintas Jalan Malioboro padat seperti biasanya, tapi masih bisa Makmun mendapatkan satu ruang parkir di sekitar Mirota Batik di ujung Jalan itu. Tepat di seberang jalannya, Pasar Beringharjo baru saja bangkit dengan keriuhannya. Tukang becak berteriak-teriak menawarkan jawa antar bertarif seharga es cendol. Bus-bus kota kucing-kucingan dengan mobil patroli polisi karena berhenti terlalu lama. Meski begitu, Andri dan teman-temannya nampak bahagia. Mereka menyusuri, memotong jalan itu, menyeberang seakan berada di halaman rumah sendiri. Di belakangnya, Makmun menuntun tangan Pak Ilman sambil menunggu lalu lintas membuka jalr penyeberangan untuk mereka. Tukang-tukang parkir menyemprit, lalu kendaraan berhenti. Mereka menyeberang lalu memasuki pintu Pasar Beringharjo.

"Andri, Zidan, kalian jangan berpencar ya. Tetap sama-sama," teriak Makmun yang dibalas teriakan "Ya" oleh rombongan anak jalanan yang bersemangat itu.

"Haduh.... Sudah lama saya tidak belanja seperti ini, Makmun. Lupa terakhir kapan..." komentar orang tua itu sambil menyeka keringatnya dengan sapu tangan.

"Bareng Ibu Ustaz, kan?" tebak Makmun.

Pak Ilman tersenyum. Mereka lalu membelah keramaian Pasar Beringharjo. Saat ribuan orang tumpah di satu koridor lurus pasar beratap itu, tak ada cara lebih baik menikmatinya kecuali memuaskan pandangan dan perasaan mencermati semua yang ditawarkan di situ.

Siang itu, kegembiraan lain bergulir di antara mereka.

Sore harinya, tim Anjal SISAN terbaring lemas di teras rumah berlantai marmer.

Makmun datang dari arah luar, membuka sepatunya, lalu menggeleng.

"Mas Makmun, hari ini izin dulu ya ke tambak lele. Mau istirahat," pinta Irwan sambil memohon.

Teman-temannya yang lain tergolek di atas lantai itu. Plastik-plastik bungkusan baju baru mereka jadikan bantalan penyangga kepala. Odi, Zidan, Azikin, dan Ningsih tertidur pulas.

Melihat itu, Makmun tersenyum. "Ya sudah, tidak apa-apa. Nanti kalian siap-siap tarawih saja."

"Tapi, apa Pak Ustaz tidak marah?" tanya Irwan.

"Tidak kok."

Dari belakang Makmun, Pak Ilman datang membawa motor mungilnya.

"Wah... wah... wah.... Pada capek ya," komentarnya singkat. Ia lalu mengambil kembalian sewa mobil yang diserahkan makmun.

Orang tua itu duduk bergabung di atas lantai. Makmun ikut merapatkan badannya di tiang penyangga atap teras itu.

"Andri, saya tahu kamu yang paling tua di antara mereka," Pak Ilman membuka pembicaraan. Kembali ia letakkan kopiah di atas lantai.

Andri menegakkan duduknya, diikuti Irwan yang menyimak di samping teman-temannya yang tidur.

"Kalian anak baik. Saya ingin kalian sering-sering di sini, membantu-bantu tambak lele dan peternakan bareng Mas Makmun. Kalian bisa?"

Andri berpikir sejenak. Ia memandang Irwan yang sama bingungnya. Di pikiran mereka, adalah keputusan besar jika harus meninggalkan kesibukan harian mereka mengamen di persimpangan Gejayan.

"Akan kita coba, Pak Ilman," jawab Andri pada akhirnya.

"Begini, nak." Pak Ilman mendekat. "Kalau kalian mau, kalian bisa tinggal di sini. Di rumah ini. Kalian bisa belajar agama, sama seperti anak-anak lain di kampung ini."

"Benar, Pak?" sontak Irwan bertanya dengan gembira. Alisnya di angkat, tangannya dikepalkan.

Pak Ilman mengangguk. "Itu kalau kalian tidak keberatan."

"Asik sekali!" Irwan meluapkan rasa senangnya.

"Tapi, Pak Ilman...." tiba-tiba Andri bersuara dengan nada lirih. "Saya kan bukan muslim...." Ia menunduk.

Melihat pandangan penyesalan yang terangkat dari mata anak itu, Pak Ilman tersenyum. Ia lalu menepuk pundak Andri.

"Nak..., kamu yakin kamu bukan Muslim?"

Makmun ikut terdiam mendengar pembicaraan itu.

"Begini, Pak. Ibu saya membawa saya ke jalan sejak saya masih lima tahun. Waktu itu, saya tidak ingat pernah melihat ibu saya salat atau apapun ke masjid. Belum pernah saya melihat beliau salat. Saya pun belum pernah salat. Saya hanya sering mendengar azan dari masjid-masjid dan melihat anak-anak salat. Saya hapal gerakannya, tapi belum pernah salat."

Pak Ilman tersenyum. Ia mafhum dan merasa bisa melihat seperti apa masa lalu anak-anak ini.

"Saya mengerti, Andri. Belajarlah dulu di sini. Kita tidak akan paksakan Andri atau teman-teman untuk belajar salat. Biar kalian mengerti sendiri. Tapi Makmun dan teman-teman di Masjid pasti selalu bersedia kalau kalian  mau belajar. Benar kan, Makmun?"

"Benar itu, Andri. Jangan kuatir. Saya juga baru rajin salat sejak SMA."

Andri lalu mengangkat wajahnya. Anak itu akhirnya tersenyum. Irwan mengangguk-angguk.

"Ya sudah...." komentar Pak Ilman kemudian saat ia bangkit dari duduknya. "Kalian mandi dulu, kita buka puasa di masjid sama teman-teman TPA. Di sana kalian bisa lihat teman-teman baru. Ramai."

"Baik, Pak Ilman. Terima kasih."

Andri terus tersenyum. Diremas-remasnya bungkusan baju koko berwarna hitam dengan hiasan emas di tangannya. Baru pertama kali ia merasakan langsung permukaan kain busana ibadah muslim itu.

Makmun tersenyum melihatnya.

(bersambung...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun