Anak-anak itu senang bukan kepalang. Mereka meloncat dari kursi, berteriak, dan saling menyambut tepukan tangan. Hampir saja roti-roti itu jatuh dari genggaman mereka. Pak Ilman dan Makmun tersenyum dan mengangguk-angguk.
Melihat senyuman tuan rumah, Andri melirik ke arah Makmun. Pemuda lajang itu mengedipkan sebelah matanya.
"Andri, sebetulnya kamu ini Islam atau agamanya apa?" tanya Pak Ilman serius.
Andri terdiam, menunduk. Teman-temannya juga. Mereka tidak berani menjawab pertanyaan orang tua ini, meskipun pertanyaan semacam itu sering jadi bahan candaan mereka di persimpangan jalan.
Azan Magrib berkumandang.
"Ya sudah. Mari kita berbuka saja...." seru Pak Ilman kemudian, menggugurkan niat dan pertanyaan yang ia ajuka sebelumnya.
Makmun dan anak--anak itu lalu menikmati semua hidangan di atas meja.
Di hari pertama puasa ini, rumah itu kembali hangat.
***
Lalu lintas Jalan Malioboro padat seperti biasanya, tapi masih bisa Makmun mendapatkan satu ruang parkir di sekitar Mirota Batik di ujung Jalan itu. Tepat di seberang jalannya, Pasar Beringharjo baru saja bangkit dengan keriuhannya. Tukang becak berteriak-teriak menawarkan jawa antar bertarif seharga es cendol. Bus-bus kota kucing-kucingan dengan mobil patroli polisi karena berhenti terlalu lama. Meski begitu, Andri dan teman-temannya nampak bahagia. Mereka menyusuri, memotong jalan itu, menyeberang seakan berada di halaman rumah sendiri. Di belakangnya, Makmun menuntun tangan Pak Ilman sambil menunggu lalu lintas membuka jalr penyeberangan untuk mereka. Tukang-tukang parkir menyemprit, lalu kendaraan berhenti. Mereka menyeberang lalu memasuki pintu Pasar Beringharjo.
"Andri, Zidan, kalian jangan berpencar ya. Tetap sama-sama," teriak Makmun yang dibalas teriakan "Ya" oleh rombongan anak jalanan yang bersemangat itu.