"...gue nggak bisa kasih apa-apa ke lu kecuali harapan agar lu bahagia."
Penutup pesan panjang yang kamu kirimkan beberapa hari lalu masih aku ingat detailnya. Bahkan, rekaman voice note yang kamu kirim pun masih sering aku putar walau tidak mencapai tiga puluh detik.Â
Aneh? Iya. Aku memang aneh, mengulang-ulang rekaman suaramu yang selama ini aku rindukan adalah hal yang menenangkan untuk saat ini. Aku bersyukur, kamu kembali dengan cara yang baik, walau tidak untuk menetap.
***
Malam itu, aku benar-benar terkejut karena untuk pertama kalinya di tahun ini, kamu menelponku. Sengaja aku biarkan karena aku berpikir, kamu salah tekan dan jujur, aku belum siap untuk bercakap lagi denganmu jika memang kamu sengaja menelpon.Â
Sekali, dua kali, aku tetap membiarkan ponselku berdering dan yang ketiga, aku memilih untuk menolak panggilanmu. Bukan bermaksud jual mahal, aku hanya enggan memulai percakapan dalam canggung sebagaimana kita yang saling diam saat berada di stasiun enam bulan lalu.
Aku sadar, sikapku yang demikian itu jauh dari kata dewasa. Bahkan, aku pun paham, tidak seharusnya aku mengabaikan sesuatu yang sebenarnya aku rindukan. Namun, aku juga tidak ingin berada dalam situasi yang hanya akan menjadikanku sesak.Â
Walau aku mengerti, rindu yang mengarah padamu adalah pemantik sesak dan perih yang hingga detik ini masih terasa. Mungkin, semua ini dikarenakan oleh kekultusan sosokmu yang faktanya telah membawaku dalam beragam skenario unik yang tak terduga.
Ibarat kunci, kamu adalah pembuka jalanku untuk memasuki berbagai panggung pementasan drama yang alur ceritanya tak terduga. Ibarat pisau, kamu adalah sosok yang berhasil memutuskan ikatan luka yang menjeratku dengan masa lalu.Â
Sialnya, sebagai pisau yang tajam, kamu juga yang melukaiku dengan hal yang bahkan masih belum bisa aku mengerti. Ah, sudahlah! Tidak ada hal yang patut kita perdebatkan lagi karena toh, kamu dan aku sudah terlalu asing dengan cerita yang dulu pernah kita bagikan bersama.
***
"Can i call you?"Â isi pesan yang kamu kirim setelah aku menolak panggilan ketiga. Sengaja aku diamkan lima belas menit. Tidak aku buka agar tanda telah terbacanya tidak membiru.Â
Sebenarnya, aku sempat ingin langsung mengarsipkan pesanmu. Tapi, entah kenapa aku tidak bisa melakukannya. Intuisiku menuntun jari untuk membalas dan ya, akhirnya aku balas pesanmu dengan pertanyaan, "ada apa?"
Tak ada balasan dalam bentuk teks, kamu justru langsung memanggil dan akhirnya, aku pun menyambut panggilanmu.
"Hey, sehat?" tanyamu langsung.
"Iya, ada apa?" kataku.
"Selamat ulang tahun! Hari ini ulang tahun lu kan, ya?" celetukmu yang terlihat yakin bahwa hari itu adalah hari ulang tahunku.
"Hah? No, no!" responsku yang lantas terkekeh geli.
"Really? Seinget gue, lu ultahnya April deh," kagetmu.
"Haha, iya. Memang ultahku April. Cuma nggak hari ini juga, kamu lupa tanggalnya ya? Hahaha, it's okay! Nggak penting juga kok," tenangku.
"Eh, tanggal berapa dong jadinya? Sorry, sorry. Gue kira hari ini," katamu lagi.
"It's okay, nggak masalah. Kamu ingat kalau ultahku di bulan ini aja aku udah seneng kok, hehe."
"Well, lu gimana kabarnya? Masih suka begadang, kah?"
"Hahaha, baik. Iya, masih lumayan sering buat begadang. Kenapa?"
"Kebiasaan! Masih tetep di Busur Panah?"
"Iya, tapi nggak sesering dulu. Kenapa memangnya?"
"Emang lu udah nggak trauma sama tempat itu?"
"Loh? Trauma? Kok tahu kalau aku pernah agak trauma sama tempat itu?"
"Tahulah, lu kan dulu sering posting instastory soal Busur Panah dan trauma-trauma lu yang kayaknya sih karena gue, ya? Hehe."
Aku tidak menjawab dengan diksi "iya" atau "tidak", aku hanya menghela napas panjang untuk merespons pertanyaanya.
***
Jujur, aku sempat menghindari segala sesuatu yang berkaitan dengan Busur Panah. Bahkan, sekalipun aku candu dengan racikan kopi gula aren yang khas di kafe tersebut, aku memilih untuk memesannya lewat aplikasi daring.
Kurang-lebih tujuh bulan aku tidak menginjakkan kaki di tempat itu karena aku tidak mau menghabiskan waktuku untuk melamunkan hal yang ingin aku ikhlaskan. Aku sadar, apapun yang berkaitan dengan dia adalah hal yang indah. Tapi, aku juga mengerti betul bahwa segala keindahan itu telah menjelma sebagai racun yang sempat membuatku hampir terhenti.
Untungnya, dendam yang bertumbuh dalam diriku lebih besar ketimbang racun yang melemahkan logikaku. Aku bertekad untuk tetap berjalan tanpa dia di momen yang sebenarnya ingin aku persembahkan untuknya.Â
Aku tetap mengupayakan yang terbaik dengan dorongan dendam dan aku berhasil. Aku berhasil tanpa dia, walau tertatih. Aku mampu tegak berdiri di hadapan khalayak, walau meratapi perih saat sendiri. Lucunya, aku tetap menjadikan dia sebagai tanda semicolon, usai berbagai prahara yang aku lewati dengan beberapa pria dan tentunya, mereka bukan dia.
Kadang, aku pun bingung menjawab pertanyaan para karib yang mengandai, "bagaimana jika suatu saat dia kembali?"
Sebab, hingga detik ini pun, intuisiku sering mengarah pada sosoknya walau tak sesering dulu.
***
"Anyway, lu masih sama....?" belum usai dia bertanya, aku lantas menyela.
"Siapa?" selaku yang bingung.
"Itu loh, yang pergi sama lu ke Toba, hehe."
"Hah? Siapa?"
"Eh? Lu ke Toba dulu sama cowok lu, kan?"
"Mana ada, wong aku ke sana buat pengabdian. Info dari mana aku ke sana sama dia?"
"Lah? Bukannya lu natalan sama dia juga?"
"Iya, aku memang rayakan natal sama dia. Tapi, nggak ada aku ke Toba bareng dia. Aku cuma singgah sebentar di Medan, sehari setelah natal aku langsung ke Samosir sendiri. Jadi, nggak ada aku sama dia ke sana bareng-bareng. Kalau kamu ngomongnya aku ke Medan barengan sama dia, itu benar. Tapi, kalau ke Toba sama dia, itu keliru."
"Ohh, i see. So? Lu masih sama dia?"
"Nope! But, wait! Semisal aku masih sama dia atau aku sama cowok lain pun sebenarnya nggak ada urusan sama kamu, kan?"
"Hahaha, iya juga sih."
"So?"
"Gue masih ada kesempatan untuk nepatin janji, kan?"
"Janji?"
"Iya, janji yang dulu kita obrolin bareng pas gue balik dari Bandung. Masih ingat?"
"Janji apa, ya?"
"Janji buat pergi ke Toba bareng. Liburan ke sana bareng-bareng, ingat?"
"Oh, iya. Hehe,"
***
Memang dia tidak salah, tiga tahun silam, tepat di tahun 2018, kami sempat berencana untuk main ke Toba bersama. Namun, semua rencana itu sirna dan aku pun sudah mengubur dalam-dalam perihal mimpi untuk menikmati danau nan cantik itu bersama dia. Bagiku, tidak ada lagi alasan untuk kembali ke Toba yang berkaitan dengan dia. Sebab, jika pun aku kembali ke sana, alasanku adalah untuk kepentingan akademik. Bukan yang lain.
***
"Gue akan tetap mengingat itu sebagai sebuah janji, kalau pun lu udah nggak berharap lagi ke sana sama gue ya it's okay,"Â katanya.
Aku yang enggan melanjutkan obrolan karena ingatanku mulai memutar memoar yang perih pun memilih untuk mengakhiri percakapan. Dia mencoba untuk menahan, namun aku memaksa untuk usai. Akhirnya, sebuah pesan panjang pun dikirimkan oleh dia.
Intinya tetap sama, ucapan ulang tahun walau salah tanggal dan sederet doa yang dirincikannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H