Kurang-lebih tujuh bulan aku tidak menginjakkan kaki di tempat itu karena aku tidak mau menghabiskan waktuku untuk melamunkan hal yang ingin aku ikhlaskan. Aku sadar, apapun yang berkaitan dengan dia adalah hal yang indah. Tapi, aku juga mengerti betul bahwa segala keindahan itu telah menjelma sebagai racun yang sempat membuatku hampir terhenti.
Untungnya, dendam yang bertumbuh dalam diriku lebih besar ketimbang racun yang melemahkan logikaku. Aku bertekad untuk tetap berjalan tanpa dia di momen yang sebenarnya ingin aku persembahkan untuknya.Â
Aku tetap mengupayakan yang terbaik dengan dorongan dendam dan aku berhasil. Aku berhasil tanpa dia, walau tertatih. Aku mampu tegak berdiri di hadapan khalayak, walau meratapi perih saat sendiri. Lucunya, aku tetap menjadikan dia sebagai tanda semicolon, usai berbagai prahara yang aku lewati dengan beberapa pria dan tentunya, mereka bukan dia.
Kadang, aku pun bingung menjawab pertanyaan para karib yang mengandai, "bagaimana jika suatu saat dia kembali?"
Sebab, hingga detik ini pun, intuisiku sering mengarah pada sosoknya walau tak sesering dulu.
***
"Anyway, lu masih sama....?" belum usai dia bertanya, aku lantas menyela.
"Siapa?" selaku yang bingung.
"Itu loh, yang pergi sama lu ke Toba, hehe."
"Hah? Siapa?"
"Eh? Lu ke Toba dulu sama cowok lu, kan?"