"Kakak capek memaklumi tabiat Abangmu yang enggan meninggalkan kebiasaan mabuknya. Kakak capek mendengar gunjingan teman yang selalu memojokkan Abangmu dan menghakimi lingkaran pertemanannya," tambahku.
Huta menyimak dengan raut bingung.
"Sebuah hubungan dibangun oleh dua orang untuk saling mendukung, menguatkan dan mengingatkan. Tapi, hubungan Kakak dan Bang Lian jauh dari ketiga hal tadi. Abangmu jarang mendukung kegiatan Kakak dan Kakak pun dibilang tidak becus menguatkan Abangmu. Pun dalam urusan mengingatkan, kami tidak bisa sama-sama mengingatkan karena dasar hidup kita berbeda. Harusnya kamu paham itu, Dik!" jelasku.
Huta nampak terkejut saat mendengar penjelasan terakhirku.
"Kamu tahu Kakak dan kalian berlainan iman. Mungkin untuk urusan duniawi kita memang satu visi, tapi untuk urusan iman? Kita berbeda. Itu yang sebenarnya membuat Kakak memilih mundur," kataku lagi.
"Kenapa baru sekarang Kakak bilang begini? Dan, kenapa dulu Kakak sepakat untuk berpacaran dengan Abang? Padahal, kalian berdua juga sama-sama tahu kalau kita beda agama!" ketus Huta merespons.
Aku kelagepan. Seingatku, aku dan Julian menyepakati sebuah ikatan tanpa "tapi" dan "karena". Kami mengedepankan naif dan mengabaikan kenyataan bahwa kami akan sulit menjadi "kita".Â
Kami sama-sama menghanyutkan diri dalam arus ketidakmungkinan. Walau ujungnya, kami harus berpisah karena perbedaan tabiat dalam bertindak dan menjadikan perbedaan iman sebagai alibi paling aman saat ditanya alasan berpisah oleh orang terdekat dan kawan-kawan. Sebuah perpisahan yang telah terprediksi sedari awal kami sah sebagai "kita" yang berakhir fana.
"Kenapa, Kak?" tanya Huta makin ketus.
"Karena...." belum sempat aku menjawab, Huta menyela.
"Kalian berdua batu!" katanya yang lantas meninggalkanku sendirian di depan ruang ICU.