"Panjang ceritanya, Kak. Kakak siap-siap aja sekarang, ya! Aku berangkat!" paksanya yang lalu mematikan panggilan kami.
Aku tidak berias. Ganti baju pun tidak. Aku hanya mengenakkan celana pendek bermotif kotak dan kaus lengan pendek yang aku lapisi sweter.
Memang tidak pas sepuluh menit, namun tidak juga sampai setengah jam. Deru motor Huta yang sudah aku hapal pun terdengar jelas. Aku bergegas membuka pintu gerbang dan mendapati matanya berkaca-kaca. Raut mukanya sedih dan dia diam tanpa kata saat melihatku.
"Kamu kenapa, Dik? Ada apa? Kok sedih, Dik?" selidikku sambil mendekatinya.
"Bang Julian, Kak. Abang..." belum selesai dia bicara, tangisnya pun pecah.
"Kenapa Abangmu? Heh! Kenapa?" tanyaku sambil menggoyangkan bahunya.
"Abang kritis di ICU, Kak. Abang kecelakaan," jawabnya terbata.
Bak tersambar petir di bawah terangnya bulan purnama, aku pun terkejut dan menangis histeris. Aku tahu, mungkin ini berlebihan. Namun, aku tidak sanggup menyembunyikan keterkejutanku yang mendengar kabar buruk tentangmu.
"Kakak ikut aku ke rumh sakit ya, Kak. Aku mohon!" rengek Huta yang langsung aku iyakan.
Aku tetap dengan outfit-ku yang sebelumnya. Tanpa celana panjang dengan sweter berwarna abu-abu. Huta menyalakan motornya dan aku pun bergegas mengunci pagar.Â
Kami berangkat menuju rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Aku dengan rasa cemasku dan Huta yang entah berperasaan seperti apa. Intinya, kami sama-sama panik dan berharap yang terbaik untukmu.