Berguling ke kanan, lantas ke kiri. Tengkurap, lalu telentang lagi. Entah sudah berapa kali aku mengubah posisi agar bisa terlelap tenang. Ada firasat aneh yang menggangguku malam ini. Firasat yang menuntun intuisiku untuk segera menghubungimu, tapi gengsi masih menahanku.Â
Jujur, bagiku ini aneh karena hampir tiga bulan aku tidak merasakan cemas berlebih yang mengarah padamu. Tapi, entah kenapa malam ini rasanya begitu misterius.Â
Badanku capek, mataku ngantuk. Sungguh, aku ingin tidur. Tapi, pikiranku benar-benar tidak tenang. Bayanganmu begitu jelas terlihat tiap kali aku memejamkan mata.Â
Kalau memang ini karena rindu, rasanya tidak mungkin. Sebab, degub cemaslah yang saat ini mendominasi perasaanku. Ada apa sebenarnya? Kamu kenapa?
***
"Kak?" isi sebuah pesan yang masuk ke ponselku. Tertulis nama adikmu di bagian identitas pengirim pesan itu. Degub jantungku makin tak beraturan, kekhawatiranku kian menjadi-jadi. Aku tidak membalas pesan itu karena aku lantas menelponnya.
"Dik? Kamu di mana?" tanyaku.
"Kakak di mana?" tanyanya balik dengan sisipan isak tangis.
"Kos. Kenapa? Kamu kenapa, Dik? Kamu nangis, ya?" selidikku yang tambah panik karena ini kali pertama aku mendengar isakan dari adik lelakimu.
"Kak, sepuluh menit lagi aku ke kos Kakak, ya?" katanya.
"Ada apa? Ngapain ke kos Kakak jam segini?" responsku yang terkejut. Waktu menunjukkan pukul tiga kurang sepuluh menit. Sebentar lagi subuh dan Huta hendak bertamu. Gila!
"Panjang ceritanya, Kak. Kakak siap-siap aja sekarang, ya! Aku berangkat!" paksanya yang lalu mematikan panggilan kami.
Aku tidak berias. Ganti baju pun tidak. Aku hanya mengenakkan celana pendek bermotif kotak dan kaus lengan pendek yang aku lapisi sweter.
Memang tidak pas sepuluh menit, namun tidak juga sampai setengah jam. Deru motor Huta yang sudah aku hapal pun terdengar jelas. Aku bergegas membuka pintu gerbang dan mendapati matanya berkaca-kaca. Raut mukanya sedih dan dia diam tanpa kata saat melihatku.
"Kamu kenapa, Dik? Ada apa? Kok sedih, Dik?" selidikku sambil mendekatinya.
"Bang Julian, Kak. Abang..." belum selesai dia bicara, tangisnya pun pecah.
"Kenapa Abangmu? Heh! Kenapa?" tanyaku sambil menggoyangkan bahunya.
"Abang kritis di ICU, Kak. Abang kecelakaan," jawabnya terbata.
Bak tersambar petir di bawah terangnya bulan purnama, aku pun terkejut dan menangis histeris. Aku tahu, mungkin ini berlebihan. Namun, aku tidak sanggup menyembunyikan keterkejutanku yang mendengar kabar buruk tentangmu.
"Kakak ikut aku ke rumh sakit ya, Kak. Aku mohon!" rengek Huta yang langsung aku iyakan.
Aku tetap dengan outfit-ku yang sebelumnya. Tanpa celana panjang dengan sweter berwarna abu-abu. Huta menyalakan motornya dan aku pun bergegas mengunci pagar.Â
Kami berangkat menuju rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Aku dengan rasa cemasku dan Huta yang entah berperasaan seperti apa. Intinya, kami sama-sama panik dan berharap yang terbaik untukmu.
Jarak menuju rumah sakit memang tidak terlalu jauh. Lima belas menit pun sampai dan aku lantas berlari menuju ruang ICU. Seorang suster menghalangiku masuk.Â
Dia hanya memperkenankan aku melihatmu terbaring dengan alat bantu pernapasan lengkap. Tangisku pecah lagi, rasanya hancur melihatmu tergolek tanpa daya dari jauh. Pikiranku pun melayang pada sebuah pertikaian di bulan dua yang lalu.
***
Hari itu, waktunya sama seperti saat ini. Kurang-lebih juga menjelang subuh, antara jam tiga menuju empat. Badanmu panas dan beberapa kali kamu mengigau.Â
Aku yang tidur di ranjangmu pun tidak tahan saat melihat rintihanmu yang terbaring di kasur lantai. Remang lampu kamarmu cukup mendramatisir suasana dan yap, saat aku beranjak mendekatimu, kamu pun muntah dan mengotori sebagian tubuhku. Bau alkohol menyeruak ke segala penjuru kamar yang sempit itu dan aku pun ikut mual karenanya.
"Bang, ke rumah sakit ya?" bujukku. Kamu hanya menggelengkan kepala sebagai tanda tolak. "Tapi, badanmu panas. Aku takut kamu makin parah. Rumah sakit, ya?" bujukku lagi.
Lagi-lagi kamu menggelengkan kepala dan aku hanya bisa menghela napas panjang.
Kalau dipikir ulang, apa yang aku lakukan tiap kali kamu mabuk hingga hampir overdosis adalah kombinasi antara ketulusan dan kebodohan yang pas. Kok bisa ya aku bertahan dengan pemabuk sepertimu? Pertanyaan utama yang sering terlintas di otakku tiap kali kamu berulah.Â
Mulai dari ulah sembronomu yang kalap tiap kali party, hingga ketidakjelasanmu yang membuatku berpikir, "apakah kita bisa terus menjadi kita jika kamu seperti ini?"
Seperti malam ini, otakku pun dipenuhi oleh satu pertanyaan absurd yang mendorongku untuk mempertanyakan, "untuk apa aku menangis di depan ruang ICU seperti ini? Apa yang aku tangisi?"
Iya, apa yang harus aku tangisi dari keadaan ini? Toh, kamu dan aku bukan lagi kita. Sekalipun aku punya hak mutlak untuk iba, namun pikiran jahatku selalu mengerucutkan dugaan burukku terhadapmu.Â
Iya, aku menduga kalau sebenarnya, kamu baik-baik saja. Tapi, jika memang baik-baik saja, kenapa harus ke rumah sakit? Pertanyaan-pertanyaan berantai yang menghantui pikiranku.
"Kak? Minum dulu, gih!" kata Huta sambil memberikan sebotol air putih untukku yang sesegukan.
"Sebenarnya apa yang terjadi, Dik?" tanyaku sambil berusaha membuka botol air tersebut.
Huta menghela napas panjang dan mengarahkan pandangannya ke Lian yang masih belum sadar.
"Cerita, Dik! Cerita! Ini ada apa sebenarnya?" tanyaku.
Rinci, Huta pun menjelaskan dengan detil kejadian buruk apa yang sebenarnya menimpamu. Katanya, kamu gagal mengendalikan laju motormu karena pengaruh alkohol yang berlebihan.Â
Motormu menabrak sebuah mobil dari arah berlawanan dan badanmu terpental cukup jauh. Huta juga menjelaskan kalau akhir-akhir ini, kamu makin sering mabuk. Hampir setiap malam kamu menenggak wine yang sedari dulu tidak pernah absen sebagai persediaan minum di kamar kosmu.
"Oh iya Kak, ada satu hal yang pengen aku tanya ke Kakak," lanjut Huta yang tiba-tiba menatap tajam mataku.
"Apa itu, Dik?" responsku.
"Kakak masih sayang nggak sih sama Abang?" unpredictable. Huta menyakan hal yang retoris.
"Kalau Kakak nggak sayang, nggak mungkin Kakak mengiyakan ajakanmu tadi, Dik!" jawabku.
"Terus kenapa nggak balikan kalau masih sayang?" semakin tidak terprediksi, aku merasa tersudutkan dengan pertanyaan Huta.
Aku tidak menceletukkan kata apapun. Aku diam, aku membisu. Aku menunduk dan menghela napas panjang.
"Abang dan Kakak memang tidak ada bedanya, kalian sama-sama batu!" kata Huta.
"Kalian terlalu gengsi, Kak. Kalian sama-sama munafik!" tambahnya.
Aku terperanjat kaget, tapi aku tetap berusaha mengontrol diri. Huta meracau dan aku pun berusaha tenang mendengarkannya. Aku tidak menyela atau mengeluarkan pendapat karena aku paham, dalam kondisi ini, menimpali amarah dengan amarah ibarat menyiram api dengan minyak tanah.
"Abang terlalu gengsi menghubungi Kakak dulu karena dia merasa nggak pantas untuk diri Kakak. Sedangkan Kakak? Kakak memilih bungkam dan terus menghindari Abang!" katanya lagi.
"Aku nggak menghindar," pembelaanku.
"Lalu? Apa sebutan yang pantas bagi tindakan seseorang yang memilih untuk tidak bertegur sapa walau sama-sama bertemu tanpa sengaja?" respons Huta dengan luapan emosi yang meledak-ledak.
"Memangnya, ada kata yang tepat untuk mendefinisikan kekecewaan Kakak terhadap Abangmu?" kataku setengah membentak.
"Maksudnya?" tanya Huta sambil menaikkan alis kanannya.
"Coba beri Kakak satu kata yang tepat untuk mendefinisikan kekecewaan Kakak pada Bang Lian. Kakak capek, Dik!" jawabku.
"Kakak capek memaklumi tabiat Abangmu yang enggan meninggalkan kebiasaan mabuknya. Kakak capek mendengar gunjingan teman yang selalu memojokkan Abangmu dan menghakimi lingkaran pertemanannya," tambahku.
Huta menyimak dengan raut bingung.
"Sebuah hubungan dibangun oleh dua orang untuk saling mendukung, menguatkan dan mengingatkan. Tapi, hubungan Kakak dan Bang Lian jauh dari ketiga hal tadi. Abangmu jarang mendukung kegiatan Kakak dan Kakak pun dibilang tidak becus menguatkan Abangmu. Pun dalam urusan mengingatkan, kami tidak bisa sama-sama mengingatkan karena dasar hidup kita berbeda. Harusnya kamu paham itu, Dik!" jelasku.
Huta nampak terkejut saat mendengar penjelasan terakhirku.
"Kamu tahu Kakak dan kalian berlainan iman. Mungkin untuk urusan duniawi kita memang satu visi, tapi untuk urusan iman? Kita berbeda. Itu yang sebenarnya membuat Kakak memilih mundur," kataku lagi.
"Kenapa baru sekarang Kakak bilang begini? Dan, kenapa dulu Kakak sepakat untuk berpacaran dengan Abang? Padahal, kalian berdua juga sama-sama tahu kalau kita beda agama!" ketus Huta merespons.
Aku kelagepan. Seingatku, aku dan Julian menyepakati sebuah ikatan tanpa "tapi" dan "karena". Kami mengedepankan naif dan mengabaikan kenyataan bahwa kami akan sulit menjadi "kita".Â
Kami sama-sama menghanyutkan diri dalam arus ketidakmungkinan. Walau ujungnya, kami harus berpisah karena perbedaan tabiat dalam bertindak dan menjadikan perbedaan iman sebagai alibi paling aman saat ditanya alasan berpisah oleh orang terdekat dan kawan-kawan. Sebuah perpisahan yang telah terprediksi sedari awal kami sah sebagai "kita" yang berakhir fana.
"Kenapa, Kak?" tanya Huta makin ketus.
"Karena...." belum sempat aku menjawab, Huta menyela.
"Kalian berdua batu!" katanya yang lantas meninggalkanku sendirian di depan ruang ICU.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H