Aku menjemputnya di bandara. Aku sudah berumur 35 tahun, dan ia sudah berusia 31. Sebelas tahun. Ia telah menjelma menjadi perempuan dewasa yang anggun dan menawan.
Aku menyewa limousine terbaik yang ada di pulau ini, mencari resort terindah yang memiliki pantai pribadi. Aku ingin hanya ada aku dan Asa. Aku ingin memperlakukannya seperti seorang puteri.
Aku memeluknya lembut di sepanjang perjalanan menuju ke resort. Sebelas tahun, aku merindukan perasaan seperti ini. Hangat yang membuncah, dan rasa damai itu. Ia bersandar di dadaku. Memejamkan matanya, seperti sedang menghitung detak jantungku.
Aku sangat bahagia. Esok, akan kusampaikan apa yang harusnya kusampaikan sejak sebelas tahun lalu.
****
Aku bersandar di pelukannya. Detak jantungnya terdengar kencang, sungguh tak serasi ketukannya dengan jemarinya yang membelai rambutku pelan-pelan. Patung Buddha raksasa tegak di puncak bukit. Kabel-kabel listrik bersilangan, langit senja mulai memerah. Pathong sudah terlewat. Tak lama lagi kami tiba di kawasan Pantai Kata yang tenang dan asri.
Selama ini, kupikir ini adalah hari yang paling kunantikan. Tapi ada yang terasa salah dengan hari ini.Â
Sebelas tahun. Kini aku berhitung banyaknya malam-malam yang kulewatkan menangisi ketiadaannya. Mataku terpejam, mengingat sakit yang telah ditorehkannya. Di hari terakhir ia menelponku dari Chicago itu, seharusnya aku telah menutup buku dan melupakannya. Tak semua hal harus punya nama terlebih dulu sebelum kita sanggup melepaskannya.
Aku ingin menghentikan limousine ini. Memintanya berputar balik, mengantarku ke arah bandara. Secepatnya.
-OOOO-
Â