- Aforasri, No. 56 -
Tokyo, 28 Maret 2011
Sudah sebelas tahun. Perempuan itu tak pernah lupa, pun tak pernah alpa.
Bertahun-tahun, ia jadi satu-satunya orang yang mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku. Bahkan, ketika aku sendiri lupa bahwa hari itu adalah hari kelahiranku.
Kumatikan telepon genggamku, setelah kukirimkan surat elektronik balasan padanya. Taksi membawaku melewati gedung-gedung tinggi yang lampunya telah dipadamkan. Sudah lewat tengah malam. Pulang. Hatiku jengah. Apartemenku yang sempit dan berantakan, dan hatiku yang sunyi, membuat kenangan tak bisa melarikan diri.
Sepanjang sebelas tahun ini, aku telah empat kali berganti pacar, sekali bertunangan, sekali menikah, dan sekali bercerai. Jangan tanya berapa kali aku berkencan, karena aku pun tak ingat lagi berapa perempuan yang kukencani.
Dengan statistik itu pun, Asa - nama perempuan itu - masih tetap keras kepala. Ia tak pernah mau pergi.
Bogor, Maret 1999
“Asa. Dalam bahasaku kau berarti pagi.”, kataku.
Ia menggeleng. “Dalam bahasaku, aku berarti harapan.”
Ia tersenyum. Bibirnya yang merah meski tanpa polesan lipstik merekah. Sebagian wajahnya tertutup rambutnya yang ikal kecoklatan, yang agak acak-acakan. Matanya berbinar, membuatku teringat pada mata kanak-kanak yang polos. Jantungku berdebar-debar.
Aku masih ingat pohon-pohon yang terhembus angin siang itu. T-shirt bertuliskan Beatles-ku yang sudah pudar warna merahnya, dan kolam ikan yang gemericik airnya. Di tepiannya kami berbincang.
“Masa. Di Indonesia namamu berarti waktu.”
“Kata orangtuaku, namaku berarti kesetiaan.”
Kata Asa, di budaya Jawa, nama seseorang dimuati harapan. Nama diberikan tigapuluh lima hari setelah seorang bayi lahir, melalui rangkaian upacara adat, yang “rumit dan akupun tak ingat bagaimana urutannya…”, katanya sembari tertawa.
Aku mulai berpikir, hari saat ia menerima nama itu adalah hari ia menerima kutukan: menanggung lara akibat ketidakmampuannya memutus asa. Seperti halnya namaku, yang membuatku penat menanggung rasa hingga begitu lama. Sungguh menyebalkan. Kutukan nama ini membuat kami terjebak di perjalanan yang tak seperti tak ada ujungnya.
***
Maret 1999 itu, aku merasa jadi pria paling sukses di dunia. Shūkatsu – musim berburu pekerjaan – telah berlalu. Sebuah perusahaan internasional yang masuk dalam daftar lima perusahaan terbesar di Jepang telah meminangku.
Dua minggu setelah siang di tepi kolam itu itu, aku mulai bertransformasi menjadi tipikal pria kantoran Jepang. Kuucapkan selamat tinggal pada baju-bajuku yang berwarna cerah. Lemariku mulai dipenuhi kemeja-kemeja putih, dasi, dan setelan jas berwarna gelap.
Di tempat kerja, tampil berbeda, apalagi mencolok, dipandang tak pantas. Martabat hidupku mulai diukur dengan nominal transaksi bisnis yang tercapai dan penilaian performa kerja. Aku pun mulai membiasakan diri pada nomikai, acara minum-minum bersama para atasan dan rekan kerjaku. Aku merasa telah bermetamorfosa menjadi lelaki dewasa. Aku sangat suka rutinitas baruku.
Jakarta, September 1999
Aku kembali ke Indonesia, menemuinya.
“Dua hari lagi aku akan ke Chicago, Asa.” Kabarku, bersemangat. Tak ada staf lain yang semuda aku, yang mendapat kesempatan untuk mengikuti program pengembangan profesi di sana. Paduan rasa bangga dan bersemangat, dan desiran darah saat menatap mata Asa sungguh tidak sehat. Aku harus mengatur nafas baik-baik, supaya tak terlihat seperti orang yang sedang sesak nafas.
Wajah Asa sumringah. Ia tersenyum lebar, lalu memelukku erat-erat, mengucapkan selamat. Hatiku terasa hangat. Asa sangat berbakat membuatku merasa bahagia.
Hanya lima jam aku bersama Asa. Tak ada pembicaraan tentang rasa, meskipun kami banyak berbagi cerita seperti biasa. Jantungku berdegup kencang seperti ingin meledakkan kata-kata, yang sayangnya, tertahan dan luruh di pangkal tenggorokan.
Aku memberinya sebuah kotak berisi seuntai kalung perak dengan liontin berbentuk bintang. Saat berpamitan di bandara, aku cuma bilang, “Aku ingin mengundangmu ke Chicago. Akhir tahun ini.”
Ia mengangguk dan tersenyum lebar, tapi matanya mulai berkaca-kaca. Di anjungan pengantar, setelah pesawatku meninggalkan landasan, air mata Asa tumpah ke bumi meski pandangannya tertuju ke angkasa.
Chicago, Desember 1999
Dari jendela kantor, setiap hari aku melihat ratusan pesawat datang dan pergi dari bandara O’Hare. Di bulan pertamaku di Chicago, aku selalu membayangkan Asa ada di salah satu pesawat itu. Aku ingin menjemputnya, mengucapkan selamat datang, lalu memeluknya. Aku berharap rasa yang tersandera di rongga dada ini akan melepaskan dirinya.
Di bulan kedua, aku semakin sibuk hingga makin tak sempat menelepon, apalagi mewujudkan undanganku untuk Asa. Perbedaan waktu yang duabelas jam ini juga sungguh tak masuk akal: Aku tak mungkin menelpon Asa sebelum ia tidur, karena di waktu yang sama aku sedang bekerja keras membuktikan pada semua orang bahwa aku layak berada di jajaran manajemen perusahaan ini.
Perlahan, kerinduanku kepada Asa seperti istana pasir yang terjilat hempasan ombak. Buyar, pelan-pelan.
Pujian yang disampaikan manajerku tentang kinerjaku membuatku berpikir ulang tentang masa depan. Aku punya mimpi baru: menggapai jabatan tinggi di perusahaan ini, seperti yang dicontohkan Oto-san*-ku.
Mimpi-mimpi baru tentang kesuksesan dan kedudukan membuatku menata ulang ruang-ruang pikiranku. Perlahan, Asa kusisihkan dari sana. Aku menemukan gairah baru: karirku.
Aku tak merasakan apa-apa saat mengangkat gagang telepon di apartemenku, lalu mengucapkan selamat tinggal pada Asa. “Aku tak akan menghubungimu lagi, Asa. Selain sangat sulit waktunya, menurutku hidup kita sudah terlalu jauh berbeda. Kamu baik-baiklah di sana.”
Ribuan mil jauhnya dari Masa, Asa terdiam. Ia ingin menyampaikan keberatan. Tapi atas dasar apa? Mereka memang pernah mendirikan sebuah lembaga pemberdayaan masyarakat bersama-sama. Di luar itu, perpaduan Asa dan Masa tak pernah punya nama.
Hati Asa berantakan. Ditaruhnya gagang telepon pelan-pelan. Lututnya tertekuk menyentuh lantai keramik yang dingin. Rangka tubuhnya terasa lungrah. Kehilangan sesuatu yang tak sempat punya nama terasa sangat janggal. Rasanya seperti ada yang tak terselesaikan.
Tokyo, November 2003
Perempuan itu merapatkan mantelnya. Petang itu, ekor topan yang sedang melintas di Tokyo menghajar sekuat-kuatnya, meluruhkan sisa-sisa daun musim gugur yang masih mencoba bertahan di ranting-ranting pohon ginko di Kita-Aoyama.
Gelisah, ia menatap jam tangannya. Sudah banyak orang yang berjalan keluar dari gedung bertingkat itu, tapi ia tak kunjung melihat wajah yang dirindukannya. Ia mulai putus asa. Semua pria yang berjalan di sana tampak hampir sama. Berjalan bergegas seperti robot, dengan mata yang menatap ke depan, dan setelan jas serupa. Ia mulai ragu, jangan-jangan ia telah gagal mengenali rupa Masa, dan melewatkannya saat ia berlalu.
Jamuan makan malam resmi akan dimulai satu jam lagi. Asa masih punya tugas untuk memberikan sambutan, mewakili delegasi Indonesia. Ia membalikkan badan, beranjak pergi. Esok ia akan kembali lagi ke sana, menanti Masa. Tak perlu berkata-kata, tak perlu memeluknya. Asa hanya ingin melihat wajahnya. Mengobati rindunya.
*****
Laki-laki itu menatap ke bawah, ke jalan raya. Ia melihat perempuan bertubuh mungil itu berdiri di sana. Dua jam lamanya, di tengah udara yang 5 derajat celcius dinginnya. Hatinya miris. Ingin ia memeluk tubuh mungil itu, mengajaknya ke kafetaria dan membelikannya kopi panas, namun ia tak bisa. Seorang perempuan lain akan datang tak lama lagi, menemuinya.
Meski ia masih melihat Asa dalam mimpi-mimpinya, ia telah memutuskan untuk berlalu. Membangun karirnya, menjalin hubungan dengan perempuan yang direstui Oto-san dan Oka-san**-nya. Asli Jepang adalah syarat mutlak dari keluarganya. Untuk menunjang karirnya, ia perlu perempuan yang kuat latar belakang pendidikan dan strata keluarganya - supaya bisa dipamerkan. Perempuan ini juga harus rela ditinggal hampir seharian penuh di hari kerja, plus di akhir pekan - karena untuk membangun hubungan baik dengan atasannya, Masa harus rajin minum-minum dan main golf bersama.
Tapi perempuan di tepi jalan itu sungguh keras kepala. Ia menolak dilupakan, padahal ia tak paham apa yang Masa butuhkan saat ini. Tiap bulan ia tetap mengirimkan rangkuman kabar tentang dirinya, dan tentang perkembangan organisasi yang mereka dirikan bersama lima tahun silam.
Perempuan itu juga tak pernah alpa mengirimkan kartu elekronik setiap 28 Maret. Menyampaikan ucapan selamat ulang tahun dan doa, yang selalu membuatnya tersenyum, dan selalu terasa ketulusannya.
Masa sudah tahu, Asa akan berada di Tokyo selama seminggu. Si Keras Kepala itu telah mengiriminya sebuah surat elektronik, mengabarinya. Asa terpilih untuk mewakili negaranya di sebuah konferensi internasional di Tokyo. Ia menjadi pembicara di sana, dan menjalankan misi rahasianya; menemukan Masa.
Paris, September 2004
“Masa sudah bertunangan. Ia akan menikah tahun depan.”
Yoriko, peserta workshop dari Jepang, yang mengenal Masa menyampaikan kabar dengan ringan, saat Asa menanyakan kabar Masa.
Asa menarik nafas. Sudah hampir lima tahun ia menanti Masa. Tampaknya, saat menyerah telah tiba. Tiga bulan berikutnya, Asa menerima ajakan Guillome, pria Perancis baik hati yang dikenalnya di workshop Paris. Ia memulai pelajaran tentang romansa.
2011
Aku tak melanjutkan pertunanganku. Aku selalu membandingkan tunanganku dengan Asa, dan kami terlalu sering bertengkar untuk hal-hal yang sepele.
Asa kembali berusaha menemuiku di Tokyo. Ia selalu datang di saat yang salah. Waktu itu aku punya kekasih baru. Aku kembali menolak menemuinya. Sekali lagi ia berhasil membuatku merasa miris, melihatnya dari jendelaku, yang buram dihajar hujan deras.
Aku memang akhirnya menikah dengan perempuan yang kukencani di bulan Mei 2008. Itu karena desakan Oka-san, yang tengah sakit parah. Di bulan yang sama, aku mendengar Asa mendapat beasiswa ke New York. Aku merasa kalah dua set pertandingan sekaligus: aku gagal mendapatkan perkawinan yang ideal, dan aku gagal melanjutkan studi karena sibuk membenamkan diri di pekerjaanku.
Setelah Oka-san meninggal, aku menceraikan istriku. Setelah semua hubungan yang tak berhasil, dan perkawinan yang sangat buruk, aku sadar, tiap hari aku masih merindukan Asa. Ia satu-satunya yang membuatku merasa damai. Ia memenuhi benakku dengan imaji kebahagiaan. Aku ingin mengejarnya. Ia seperti bintang yang kini bersinar sangat terang. Aku harus berlayar ke arahnya. Sepertinya ia juga telah memenuhi standar calon istri yang pantas untukku. Aku ingin menuntaskan rasa yang sampai kini tertunda.
Tahun 2009, aku akhirnya mendapat beasiswa untuk belajar di Michigan. Aku segera mengkontak Asa. Mengajaknya bertemu di New York City.
“Maaf Masa, aku sudah bersama dengan seseorang. Kurasa tidak bijak kalau aku menemuimu.”, balasnya singkat.
Kami tetap berteman di media sosial. Aku memantaunya tiap hari, meski dadaku dibakar cemburu, melihat foto-foto Asa di sana, bersama pacarnya yang ganteng dan kandidat Doktor itu. Hingga suatu hari di awal tahun 2011, aku tersadar, Asa tak pernah lagi memasang foto-foto bersama pria itu.
*****
Aku bertunangan dengan Guillome, tapi sampai tahun 2006 saja. Mendekati tanggal pernikahan, aku merasa ada yang salah. Aku tak berani meneruskan rencana pernikahan kami, lalu meninggalkannya.
Setelah meninggalkan Guillome, aku ke Tokyo lagi, mencoba menemui Masa. Lima hari berturut-turut, aku kembali berdiri di depan kantornya di Aoyama. Saat itu Tokyo sedang didera hujan. Seperti sebelumnya, ia menolak menemuiku.
Tahun 2008 aku mendapat beasiswa ke Amerika. Di sana aku bertemu dengan Andrés, seorang pria Argentina cerdas, yang katanya jatuh cinta padaku pada pandangan pertama. Ia sangat pencemburu, dan berulang kali menyakitiku.
Di tahun 2009, Masa mengajakku bertemu. Aku menolaknya. Tahun 2010, pria Argentinaku mulai tak setia. Aku meninggalkannya.
Tiap tahun aku masih mengirim ucapan selamat ulang tahun untuk Masa. Entahlah. Aku telah membuatnya jadi kebiasaan hingga aku takut tahunku tak akan terasa sempurna kalau aku tak melakukan itu. Hingga di tahun 2011, setelah ucapan ulangtahun yang kukirimkan, ia menulis e-mail balasan terpanjang yang pernah kutahu.
“….Aku meminta maaf atas ketidak-pedulianku. Sebelas tahun, dan aku akhirnya belajar sesuatu: di saat-saat sedihku, ingatan tentangmu selalu datang. Kenangan tentangmu selalu membuatku tersenyum. Pesan-pesanmu, yang tak pernah kubalas, mengingatkanku bahwa ada orang yang selalu ada dan tak pernah melupakanku. Sebelas tahun, aku baru sadar bahwa cuma kamu yang bisa membuatku merasa seperti itu. Yang menyayangi aku dengan sesabar itu. Aku ingin menemuimu, mencoba mengenalmu lagi, dan mungkin, memulai sesuatu yang baru denganmu.”
Phuket, Juli 2011
Aku menjemputnya di bandara. Aku sudah berumur 35 tahun, dan ia sudah berusia 31. Sebelas tahun. Ia telah menjelma menjadi perempuan dewasa yang anggun dan menawan.
Aku menyewa limousine terbaik yang ada di pulau ini, mencari resort terindah yang memiliki pantai pribadi. Aku ingin hanya ada aku dan Asa. Aku ingin memperlakukannya seperti seorang puteri.
Aku memeluknya lembut di sepanjang perjalanan menuju ke resort. Sebelas tahun, aku merindukan perasaan seperti ini. Hangat yang membuncah, dan rasa damai itu. Ia bersandar di dadaku. Memejamkan matanya, seperti sedang menghitung detak jantungku.
Aku sangat bahagia. Esok, akan kusampaikan apa yang harusnya kusampaikan sejak sebelas tahun lalu.
****
Aku bersandar di pelukannya. Detak jantungnya terdengar kencang, sungguh tak serasi ketukannya dengan jemarinya yang membelai rambutku pelan-pelan. Patung Buddha raksasa tegak di puncak bukit. Kabel-kabel listrik bersilangan, langit senja mulai memerah. Pathong sudah terlewat. Tak lama lagi kami tiba di kawasan Pantai Kata yang tenang dan asri.
Selama ini, kupikir ini adalah hari yang paling kunantikan. Tapi ada yang terasa salah dengan hari ini.
Sebelas tahun. Kini aku berhitung banyaknya malam-malam yang kulewatkan menangisi ketiadaannya. Mataku terpejam, mengingat sakit yang telah ditorehkannya. Di hari terakhir ia menelponku dari Chicago itu, seharusnya aku telah menutup buku dan melupakannya. Tak semua hal harus punya nama terlebih dulu sebelum kita sanggup melepaskannya.
Aku ingin menghentikan limousine ini. Memintanya berputar balik, mengantarku ke arah bandara. Secepatnya.
-OOOO-
*Oto-san = ayah
**Oka-san = ibu
Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community
Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community
Sumber gambar:
Chicago: www.acbl.org, Tokyo: www.businessdestinations.com, Ann Arbor (MI): www.annaarborregent.com, New York City (NYC) www.midtownhotelnyc.com, Bogor: www.anekatempatwisata.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H