“Dua hari lagi aku akan ke Chicago, Asa.” Kabarku, bersemangat. Tak ada staf lain yang semuda aku, yang mendapat kesempatan untuk mengikuti program pengembangan profesi di sana. Paduan rasa bangga dan bersemangat, dan desiran darah saat menatap mata Asa sungguh tidak sehat. Aku harus mengatur nafas baik-baik, supaya tak terlihat seperti orang yang sedang sesak nafas.
Wajah Asa sumringah. Ia tersenyum lebar, lalu memelukku erat-erat, mengucapkan selamat. Hatiku terasa hangat. Asa sangat berbakat membuatku merasa bahagia.
Hanya lima jam aku bersama Asa. Tak ada pembicaraan tentang rasa, meskipun kami banyak berbagi cerita seperti biasa. Jantungku berdegup kencang seperti ingin meledakkan kata-kata, yang sayangnya, tertahan dan luruh di pangkal tenggorokan.
Aku memberinya sebuah kotak berisi seuntai kalung perak dengan liontin berbentuk bintang. Saat berpamitan di bandara, aku cuma bilang, “Aku ingin mengundangmu ke Chicago. Akhir tahun ini.”
Ia mengangguk dan tersenyum lebar, tapi matanya mulai berkaca-kaca. Di anjungan pengantar, setelah pesawatku meninggalkan landasan, air mata Asa tumpah ke bumi meski pandangannya tertuju ke angkasa.
Chicago, Desember 1999
Dari jendela kantor, setiap hari aku melihat ratusan pesawat datang dan pergi dari bandara O’Hare. Di bulan pertamaku di Chicago, aku selalu membayangkan Asa ada di salah satu pesawat itu. Aku ingin menjemputnya, mengucapkan selamat datang, lalu memeluknya. Aku berharap rasa yang tersandera di rongga dada ini akan melepaskan dirinya.
Di bulan kedua, aku semakin sibuk hingga makin tak sempat menelepon, apalagi mewujudkan undanganku untuk Asa. Perbedaan waktu yang duabelas jam ini juga sungguh tak masuk akal: Aku tak mungkin menelpon Asa sebelum ia tidur, karena di waktu yang sama aku sedang bekerja keras membuktikan pada semua orang bahwa aku layak berada di jajaran manajemen perusahaan ini.
Perlahan, kerinduanku kepada Asa seperti istana pasir yang terjilat hempasan ombak. Buyar, pelan-pelan.
Pujian yang disampaikan manajerku tentang kinerjaku membuatku berpikir ulang tentang masa depan. Aku punya mimpi baru: menggapai jabatan tinggi di perusahaan ini, seperti yang dicontohkan Oto-san*-ku.
Mimpi-mimpi baru tentang kesuksesan dan kedudukan membuatku menata ulang ruang-ruang pikiranku. Perlahan, Asa kusisihkan dari sana. Aku menemukan gairah baru: karirku.