Mohon tunggu...
Asri Wijayanti
Asri Wijayanti Mohon Tunggu... Konsultan - Penyintas Autoimun, Konsultan Komunikasi

Perempuan asal Semarang, penyintas autoimun, pernah bekerja lembaga internasional di Indonesia dan Myanmar, di bidang pengurangan risiko bencana. Saat ini bekerja sebagai konsultan komunikasi di sebuah lembaga internasional yang bergerak di bidang kependudukan dan kesehatan reproduksi. Alumni State University of New York di Albany, AS, Departemen Komunikasi. Suka belajar tentang budaya dan sejarah, menjelajah, dan mencicipi makanan tradisional. Berbagi cerita juga di www.asriwijayanti.com.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[KC] Masa dan Asa

3 Oktober 2015   08:08 Diperbarui: 3 Oktober 2015   09:01 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 “Dua hari lagi aku akan ke Chicago, Asa.” Kabarku, bersemangat. Tak ada staf lain yang semuda aku, yang mendapat kesempatan untuk mengikuti program pengembangan profesi di sana. Paduan rasa bangga dan bersemangat, dan desiran darah saat menatap mata Asa sungguh tidak sehat. Aku harus mengatur nafas baik-baik, supaya tak terlihat seperti orang yang sedang sesak nafas.

Wajah Asa sumringah. Ia tersenyum lebar, lalu memelukku erat-erat, mengucapkan selamat. Hatiku terasa hangat. Asa sangat berbakat membuatku merasa bahagia.

Hanya lima jam aku bersama Asa. Tak ada pembicaraan tentang rasa, meskipun kami banyak berbagi cerita seperti biasa. Jantungku berdegup kencang seperti ingin meledakkan kata-kata, yang sayangnya, tertahan dan luruh di pangkal tenggorokan.

Aku memberinya sebuah kotak berisi seuntai kalung perak dengan liontin berbentuk bintang. Saat berpamitan di bandara, aku cuma bilang, “Aku ingin mengundangmu ke Chicago. Akhir tahun ini.”

Ia mengangguk dan tersenyum lebar, tapi matanya mulai berkaca-kaca. Di anjungan pengantar, setelah pesawatku meninggalkan landasan, air mata Asa tumpah ke bumi meski pandangannya tertuju ke angkasa.

Chicago, Desember 1999

Dari jendela kantor, setiap hari aku melihat ratusan pesawat datang dan pergi dari bandara O’Hare. Di bulan pertamaku di Chicago, aku selalu membayangkan Asa ada di salah satu pesawat itu. Aku ingin menjemputnya, mengucapkan selamat datang, lalu memeluknya. Aku berharap rasa yang tersandera di rongga dada ini akan melepaskan dirinya.

Di bulan kedua, aku semakin sibuk hingga makin tak sempat menelepon, apalagi mewujudkan undanganku untuk Asa. Perbedaan waktu yang duabelas jam ini juga sungguh tak masuk akal: Aku tak mungkin menelpon Asa sebelum ia tidur, karena di waktu yang sama aku sedang bekerja keras membuktikan pada semua orang bahwa aku layak berada di jajaran manajemen perusahaan ini.

Perlahan, kerinduanku kepada Asa seperti istana pasir yang terjilat hempasan ombak. Buyar, pelan-pelan.

Pujian yang disampaikan manajerku tentang kinerjaku membuatku berpikir ulang tentang masa depan. Aku punya mimpi baru: menggapai jabatan tinggi di perusahaan ini, seperti yang dicontohkan Oto-san*-ku.

Mimpi-mimpi baru tentang kesuksesan dan kedudukan membuatku menata ulang ruang-ruang pikiranku. Perlahan, Asa kusisihkan dari sana. Aku menemukan gairah baru: karirku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun