Mohon tunggu...
Asri Wijayanti
Asri Wijayanti Mohon Tunggu... Konsultan - Penyintas Autoimun, Konsultan Komunikasi

Perempuan asal Semarang, penyintas autoimun, pernah bekerja lembaga internasional di Indonesia dan Myanmar, di bidang pengurangan risiko bencana. Saat ini bekerja sebagai konsultan komunikasi di sebuah lembaga internasional yang bergerak di bidang kependudukan dan kesehatan reproduksi. Alumni State University of New York di Albany, AS, Departemen Komunikasi. Suka belajar tentang budaya dan sejarah, menjelajah, dan mencicipi makanan tradisional. Berbagi cerita juga di www.asriwijayanti.com.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[KC] Masa dan Asa

3 Oktober 2015   08:08 Diperbarui: 3 Oktober 2015   09:01 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku masih ingat pohon-pohon yang terhembus angin siang itu. T-shirt bertuliskan Beatles-ku yang sudah pudar warna merahnya, dan kolam ikan yang gemericik airnya. Di tepiannya kami berbincang.

 “Masa. Di Indonesia namamu berarti waktu.”

“Kata orangtuaku, namaku berarti kesetiaan.”

Kata Asa, di budaya Jawa, nama seseorang dimuati harapan. Nama diberikan tigapuluh lima hari setelah seorang bayi lahir, melalui rangkaian upacara adat, yang “rumit dan akupun tak ingat bagaimana urutannya…”, katanya sembari tertawa.

Aku mulai berpikir, hari saat ia menerima nama itu adalah hari ia menerima kutukan: menanggung lara akibat ketidakmampuannya memutus asa. Seperti halnya namaku, yang membuatku penat menanggung rasa hingga begitu lama. Sungguh menyebalkan. Kutukan nama ini membuat kami terjebak di perjalanan yang tak seperti tak ada ujungnya.

***

Maret 1999 itu, aku merasa jadi pria paling sukses di dunia. Shūkatsu – musim berburu pekerjaan – telah berlalu. Sebuah perusahaan internasional yang masuk dalam daftar lima perusahaan terbesar di Jepang telah meminangku.

Dua minggu setelah siang di tepi kolam itu itu, aku mulai bertransformasi menjadi tipikal pria kantoran Jepang. Kuucapkan selamat tinggal pada baju-bajuku yang berwarna cerah. Lemariku mulai dipenuhi kemeja-kemeja putih, dasi, dan setelan jas berwarna gelap.

Di tempat kerja, tampil berbeda, apalagi mencolok, dipandang tak  pantas. Martabat hidupku mulai diukur dengan nominal transaksi bisnis yang tercapai dan penilaian performa kerja. Aku pun mulai membiasakan diri pada nomikai, acara minum-minum bersama para atasan dan rekan kerjaku. Aku merasa telah bermetamorfosa menjadi lelaki dewasa. Aku sangat suka rutinitas baruku.

Jakarta, September 1999

Aku kembali ke Indonesia, menemuinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun