Aku masih ingat pohon-pohon yang terhembus angin siang itu. T-shirt bertuliskan Beatles-ku yang sudah pudar warna merahnya, dan kolam ikan yang gemericik airnya. Di tepiannya kami berbincang.
“Masa. Di Indonesia namamu berarti waktu.”
“Kata orangtuaku, namaku berarti kesetiaan.”
Kata Asa, di budaya Jawa, nama seseorang dimuati harapan. Nama diberikan tigapuluh lima hari setelah seorang bayi lahir, melalui rangkaian upacara adat, yang “rumit dan akupun tak ingat bagaimana urutannya…”, katanya sembari tertawa.
Aku mulai berpikir, hari saat ia menerima nama itu adalah hari ia menerima kutukan: menanggung lara akibat ketidakmampuannya memutus asa. Seperti halnya namaku, yang membuatku penat menanggung rasa hingga begitu lama. Sungguh menyebalkan. Kutukan nama ini membuat kami terjebak di perjalanan yang tak seperti tak ada ujungnya.
***
Maret 1999 itu, aku merasa jadi pria paling sukses di dunia. Shūkatsu – musim berburu pekerjaan – telah berlalu. Sebuah perusahaan internasional yang masuk dalam daftar lima perusahaan terbesar di Jepang telah meminangku.
Dua minggu setelah siang di tepi kolam itu itu, aku mulai bertransformasi menjadi tipikal pria kantoran Jepang. Kuucapkan selamat tinggal pada baju-bajuku yang berwarna cerah. Lemariku mulai dipenuhi kemeja-kemeja putih, dasi, dan setelan jas berwarna gelap.
Di tempat kerja, tampil berbeda, apalagi mencolok, dipandang tak pantas. Martabat hidupku mulai diukur dengan nominal transaksi bisnis yang tercapai dan penilaian performa kerja. Aku pun mulai membiasakan diri pada nomikai, acara minum-minum bersama para atasan dan rekan kerjaku. Aku merasa telah bermetamorfosa menjadi lelaki dewasa. Aku sangat suka rutinitas baruku.
Jakarta, September 1999
Aku kembali ke Indonesia, menemuinya.