Aku menyeka air mata, "Kediri Kang".
"Kediri Mana?". Sahutnya dengan nada rendah. Lalu duduk disampingku.
"Semen Kang".
"Emmmmh," Sambil mengangguk-angguk ia melanjutkan pertanyaannya.
"Kenapa kamu kok malah nangis?". Tanyanya. Aku hanya diam.
"Nanti telfon orang tuanya, bilang kalau belum punya baju muslim". Tuturnya. Aku menghela nafas untuk yang kesekian kalinya.
"Orang tua saya ndak ada Kang". Ungkapku. Kang Maman sedikit tersentak, menelan ludah. Lantas diam beberapa saat. Aku menghela nafas lagi, memperbaiki posisi duduk.
"Sebentar". Ucapnya, lantas pergi menuju sebuah kamar yang terletak disebelah kanan Masjid. Aku kembali merunduk, menekukkan kedua lutut, merangkulnya dengan kedua tangan dan menyandarkan kepalaku diatasnya.
Entah kenapa aku ini. Tiba-tiba teringat kedua orang tuaku yang sudah meninggal saat aku masih kecil. Ah, untungnya nenek sangat sayang padaku. Untungnya juga nenek mengirimku kesini, pondok pesantren. Setidaknya membuatku semakin bisa memanfaatkan hidup ini, memberikan yang terbaik untuk almarhum kedua orang tuaku. Memberi mereka mahkota terindah kelak disurga.
"Ini le.... Aku punya baju buat samian. Meski ndak banyak semoga saja bermanfaat". Ungkap Kang Maman sambil menyodorkan dua buah baju muslim putih yang terlipat rapi kepadaku.
Aku mengangkat kepala, menatapnya, lantas meraihnya. Kudapati raut wajahnya yang sembab. Lelaki bersarung merah tua itu kembali duduk disebelahku. Diantara lentera penerang masjid yang tertata begitu indah. Bersandarkan tiang penyangga masjid yang menjulang menapaki langit-langitnya. Kang Maman perlahan meraih pundakku, menyandarkanku pada bahunya.