Sementara lurah pondok terus berkata, aku hanya diam. Merundukkan kepala. Dan, sorakan makin merajalela.
# # # #
Rupa-rupanya Naufal senang menerima tawaran baju itu. Tapi Istriku masih saja terlihat bertele-tele menunjuki pakaian, mencari model lain. Maklumlah, ibu-ibu. Kang maman seperti tak punya lelah, tetap saja memberikan tawaran produk terbaiknya.
Tiba-tiba Hp ku berdering, ada gambar masuk via Wats app dari Dinda, istriku. Terlihat gambar baju beraneka ragam dengan pesan tambahan; Mas, baju yang bagus buat Naufal mana ya?. Aku tersenyum. Memperbaiki posisi duduk. Terserah samian saja. Sepertinya warna putih jauh lebih bagus, balasku.
Kulihat Dinda dari dalam mobil, ia mengangguk-angguk sambil tersenyum. Bersama lambaian angin yang sibuk merayapi pakaian yang tertata rapi di langit-langit ruko itu. Juga gaun biru yang Dinda pakai, menggelayut amboi indahnya. Membuat senyumnya semakin merona sempurna. Anggunnya Dinda-ku. Tak lama kemudian, Kang Maman menyodorkan Baju koko putih yang ia ambil dari dalam etalase belakang Naufal.
# # # #
Selepas itu, saat para santri sudah bubar, hanya tinggal beberapa saja yang masih duduk bersila menghadap qiblat sambil menggerak-gerakkan bibirnya, Si penjaga Jama'ah mendekatiku. Di bajunya putih garis-garis hitam yang ia kenakan tertera nama, "Maman Suratpradja". Aku menenggelamkan kepalaku. Dasar, Maman!! Celetukku dalam hati.
"Siapa namamu?". Tanyanya dengan tangan tersingkap kebelakang.
"Saya Hasib Nur Alim Kang". Jawabku.
Aku masih merundukkan kepala. Dan yang pasti, aku tak tau seperti apa gurat wajahnya saat ini. Entah seperti saat ia membentakku tadi? Atau lebih dari itu? Aku tak tau.
"Kenapa samian nggak taat peraturan? teman-teman samian segitu banyaknya ituloh nggak ada yang melanggar". Ungkapnya. Aku sedikit mendongakkan kepala.