"Peraturan yang mana Kang, perasaan aku tadi ndak rame kan?". Jawabku dengan nada merendah.
"Ini, baju mu!? samian pakek hem kan? Nggak punya baju muslim?". Ungkapnya sambil memegangi lengan hem abu-abu yang aku kenakan.
Aku hanya diam. Bungkam, bak tak punya suara. Kembali kurundukkan kepala.
Beberapa lama kemudian, tamparan keras menghantam pipiku lagi. PLAKKK!
Aku semakin geram. Tapi entah, geramku kali ini memancing air mata. Kutahan agar tak keluar. Ah, sesak sekali dada ini. Aku semakin merunduk. Terus tenggelam. Hingga spontan tanganku meraih butiran itu. Sempurna air mataku meleleh.
"malah nangis? Kenapa? Bajunya hilang? Atau nggak punya? Heh! Jawaben!". Bentaknya sambil memegangi pundakku, menggoyang-goyangkannya. Aku menghela nafas dalam-dalam.
"Saya memang ndak punya Kang". Jawabku sesenggukan.
"Ndak punya? Ya minta orang tua to leee... le!".
Ah, entah kenapa jawaban Kang Maman kali ini makin membuatku menghela nafas berkali-kali lagi. Menyesakkan dada melunturkan air mata. Aku merayap menuruni tembok yang ku sandari. Duduk termangu berusaha menghaluskan desiran nafas.
Siratan cahaya lampu yang menerangi seisi masjid bercat putih ini terasa menggerahkan. Beberapa kitab yang tertata rapih dipojok belakang sepertinya turut menyaksikan. Juga beberapa santri yang celingukan dari pagar samping dan depan masjid. Ah, aku kembali merunduk. Berusaha membendung air mata.
"Omahmu ngendi to le?". Tanya Kang Maman setelah sebelumnya nggremeng.